Tuesday, February 24, 2009

Wawasan Nusantara dan Kewajiban Bela Negara

“Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pembelaan Negara.” (Pasal 30, UUD 1945) Berawal dari ide yang dilontarkan oleh Perdana Menteri Ir. H. Djuanda Kartawidjadja. Pada tanggal 13 Desember 1957, ia mendeklarasikan sebuah konsep Wawasan Nusantara, yang intinya menekankan bahwa bangsa Indonesia merupakan sebuah negara. Selanjutnya, melalui konsep yang belakangan dikenal dengan nama Deklarasi Djuanda ini, ide “Negara Kepulauan” mendapatkan pengakuan internasional. Perjuangan Perdana Menteri Djuanda kemudian dilanjutkan oleh Menteri Luar Negeri Mochtar Kusumaatmadja yang mampu mengartikulasikan konsepsi Wawasan Nusantara sebagai prinsip-prinsip dasar yang dapat mempersatukan Negara RI. Melalui konsepsi Wawasan Nusantara itulah pamor Indonesia meningkat karena konsepsi ini merupakan salah satu terobosan penting khususnya dalam hukum Internasional. Konsepsi Wawasan Nusantara selanjutnya dipergunakan sebagai argumen untuk mempersatukan pulau-pulau yang tersebar dari ujung Sumatera sampai Irian Jaya (Papua). Hanya dengan konsep penetapan batas laut wilayah sejauh 12 mil saja akan membuat adanya bagian laut bebas dalam pulau-pulau Indonesia yang dapat diinterpretasikan sebagai laut bebas. Dengan konsepsi negara kepulauan maka kelemahan itu behasil ditutupi. Semua laut di antara pulau-pulau atau di tengah kepulauan Indonesia sudah tidak dapat dihitung lagi sebagai laut internasional, tetapi sebagai laut pedalaman yang temasuk sebagai kawasan laut territorial dari suatu negara kepulauan. Konsepsi politik kewilayahan ini dimulai dengan UU No. 4/Prp/1960 yang dalam konferensi Hukum Laut III terus diperjuangkan dan berujung pada penerimaan UNCLOS 1982 pada 10 Desember 1982. Pemerintah Indonesia sendiri tak pelu menunggu waktu yang terlalu lama untuk meratifikasi konvensi tersebut melalui UU No 17 tahun 1984. Disamping itu mengenai garis batas Indonesia, baik laut wilayah, landas kontinen, maupun zona ekonomi eksklusif juga telah dapat diselesaikan pada era Menlu Mochtar Kusumaatmadja. Lebih kurang sejak tahun 1969 sampai tahun 1982, ada sekitar 18 persetujuan menyangkut batas dengan negara lain yang berhasil ditandatangani. Sejauh ini, lahirnya Wawasan Nusantara, sebagai suatu tatanan nilai pemersatu bangsa, sejalan dengan tumbuhnya bangsa Indonesia. Secara geografis posisi Indonesia yang diapit oleh dua benua dan dua samudera menjadi suatu mozaik yang utuh apabila diberi kerangka konsepsi Wawasan Nusantara. Pada masa dasawarsa 1980-an, tidak ada yang dapat membantah kebesaran Indonesia, terlebih jika dipandang sebagai satu kasatuan dalam Wawasaan Nusantara. Indonesia bukan hanya pulau Jawa, Sumatera, Sulawesi, Irian ataupun Bali semata. Indonesia adalah negara kepulauan yang memiliki arti strategis secara geopolitis di kawasan regional maupun internasianal. Konvensi hukum laut 1982 (United Nation Convention on Law of the Sea) memasukkan konsep Archipelagic State sebagai konsep hukum internasianal. Hal ini merupakan tonggak penting dalam sejarah perjuangan Indonesia dalam menjadikan konsepsi Wawasan Nusantara sebagai perwujudan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Bela Negara Berbicara mengenai konsepsi Wawasan Nusantara tentunya tak bisa dipisahkan dengan kewajiban bela negara bagi setiap warga Negara Indonesia. Mengingat pentingnya kedua hal tersebut, khususnya bagi kelangsungan NKRI, pemerintah telah mengaturnya melalui banyak produk hukum. Di antaranya adalah Undang-undang No.29 tahun 1954 tentang Pokok-Pokok Perlawanan Rakyat; Tap MPR No.VI Tahun 1973 tentang konsep Wawasan Nusantara dan Keamanan Nasional; Undang-Undang No.20 tahun 1982 tentang Ketentuan Pokok Hankam Negara RI yang kemudian diubah oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1988; Tap MPR No.VI Tahun 2000 tentang Pemisahan TNI dengan POLRI; Tap MPR No.VII Tahun 2000 tentang Peranan TNI dan POLRI; Amandemen UUD 1945 Pasal 30 dan pasal 27 ayat 3; serta Undang-Undang No.3 tahun 2002 tentang Pertahanan Negara. Pun pemerintah telah berupaya menanamkan kedua hal tersebut kepada generasi muda sejak dini. Salah satunya dengan menempatkan mata pelajaran PPKn (dulu PMP) di bangku Sekolah Dasar (SD), SMP hingga SMA, serta Pendidikan Kewarganegaraan (dulu Kewiraan) bagi mahasiswa (tingkat pertama). Melalui mata pelajaran/ kuliah tersebut, para siswa dan mahasiswa telah diajak untuk turut serta dalam bela negara dengan mewaspadai dan mengatasi berbagai macam ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan pada NKRI seperti para pahlawan yang rela berkorban demi tegaknya kedaulatan NKRI. Bentuknya bisa dengan mengikuti kegiatan ekstraklurikuler seperti Paskibra, PMR dan Pramuka, membantu korban bencana alam di dalam negeri, ataupun turut serta dalam mengamankan lingkungan sekitar (yang pada masa Orde Baru dikenal dengan istilah siskamling). Sayangnya selama masa kepemimpinan mantan Presiden Soeharto yang otoritarian berpengaruh besar kepada penangkapan di benak siswa/ mahasiswa terhadap pengertian Wawasan Nusantara dan Bela Negara melalui mata pelajaran PPKn (PMP) dan Kewarganegaraan (Kewiraan)---baik itu dalam pengertian yang positif maupun negatif. Terlebih cara mengajar guru/ dosen mata pelajaran/ kuliah tersebut di masa itu yang kebanyakan berada dibawah tekanan rezim Orde Baru membuat para siswa/ mahasiswa tidak sungguh-sungguh dalam mengikuti mata pelajaran/ kuliah ini. Biasanya, bagi mahasiswa, khususnya yang ketika itu terlibat dalam aktivitas organisasi kemahasiswaan, yang dengan lantang dalam perkuliahan ‘Kewiraan’ berani menyatakan pendapatnya yang tentu saja berseberangan dengan yang diterapkan oleh Diktator Soeharto, pasti dinyatakan tidak lulus. Akibatnya, ide “nation building” yang dicita-citakan melalui Pancasila akhirnya mengalami dekadensi nilai. Ironisnya, meski zaman sudah berubah, itu masih berlangsung hingga sekarang. Ini karena Pasca Reformasi 1998 ternyata ada banyak pihak---yang sebagian besar adalah orang-orang yang paling menikmati hasil pembangunan pada masa orde baru dan bahkan merupakan pendukung kuat nilai-nilai tersebut---turut berlomba-lomba berbalik menyerang nilai-nilai yang pada masa orde baru dianggap sakral. Keadan ini sama halnya seperti yang digambarkan oleh filsuf Thoreau, yaitu ketika ada sekelompok orang di saat Revolusi Amerika yang turut mencela tindakan dan kebijaksanan pemerintah terdahulu padahal telah mengambil keuntungan dari keadaan tersebut demi melepaskan dosa dari masa lalunya. Syukurlah pemerintah tidak tinggal diam. Apapun yang terjadi---demi menjaga keutuhan dan kelangsungan NKRI---pemahaman tentang konsepsi Wawasan Nusantara dan Bela Negara harus tetap ditegakkan. Selain masih melalui mata pelajaran PPKn bagi siswa SD, SMP, SMA, serta mata kuliah Pendidikan Kewargenagaraan bagi mahasiswa, antara lain pemerintah kini, sejak lima tahun terakhir, telah menggalakkan semacam sosialisi tentang kesadaran dan pendidikan bela Negara, baik di tingkat nasional maupun di daerah-daerah, yang pesertanya meliputi pelajar/ mahasiswa serta organisasi kepemudaan. Tentu saja, program yang penyelenggaraannya didukung oleh banyak departemen ini bertujuan untuk membangkitkan semangat bela negara dan kebangsaan serta ditargetkan bisa membangkitkan semangat nasionalisme di kalangan pemuda agar bisa bersatu di antara perbedaan-perbedaan. (Naskah & Foto: Hanif Nashrullah---dikumpulkan untuk memenuhi tugas akhir semester (1) mata kuliah Kewarganegaraan, Program Studi S-1, jurusan Seni Teater, Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta Surabaya)

Thursday, February 12, 2009

Siapa Berani Pimpin DKS?

Dewan Kesenian Kota Surabaya (DKS) kembali akan menggelar musyawarah untuk memilih ketua (beserta jajaran pengurusnya) periode masa jabatan 2009 – 2014. Musyawarah rencananya akan digelar hari Rabu pekan depan (18/12). Bagi yang berminat mencalonkan diri silahkan mendaftar. - Masih segar di ingatan, Konvensi Pemilihan Ketua DKS tahun 2004 – untuk masa jabatan periode 2005 - 2007. Itulah pertama kalinya pemilihan Ketua DKS digelar melalui konvensi yang melibatkan para seniman (dan masyarakat umum). Sebelumnya berturut-turut Ketua DKS dipilih langsung oleh Tim Formatur. Model pemilihan melalui konvensi ini ketika itu cukup menarik perhatian masyarakat luas. Rencana konvensi yang sejak jauh hari sebelum digelar secara berkala telah diberitakan surat kabar cukup memancing antusias warga kota untuk ikut mencalonkan diri jadi Ketua DKS. Tercatat ada 12 kandidat ketika itu yang mencalonkan diri, beberapa di antaranya bukan seniman ataupun penikmat seni. Sejumlah seniman yang paham betul dengan kondisi DKS sempat mempergunjingkan beberapa orang yang bukan seniman dan sebelumnya tidak pernah mampir ke DKS ataupun terlihat di sebuah pertunjukan seni yang tiba-tiba maju ingin jadi Ketua DKS. “Mungkin mereka pikir Dewan Kesenian Surabaya tak ubahnya seperti Dewan Perwakilan Rakyat yang dana anggaran kerjanya bernilai miliaran rupah sudah tersedia melalui APBD,” kelakar seorang seniman sembari terbahak. Para seniman yang sudah familiar dengan DKS kian dibuat terkekeh oleh salah seorang kandidat yang bukan seniman yang datang di acara konvensi mengenakan pakaian jas lengkap dengan dasinya. Kandidat yang kostumnya sudah terlihat seperti anggota dewan ini, di tengah acara konvensi yang berlangsung alot, mungkin karena ongkep/ kepanasan, kemudian membuka jas dan melonggarkan dasinya seraya terus mengikuti jalannya konvensi hingga usai sampai malam hari. Konvensi yang sempat diwarnai aksi demonstrasi oleh segelintir aktivis seniman kampus ini akhirnya menetapkan tiga kandidat yang memperoleh suara terbanyak untuk duduk sebagai Ketua Presidium DKS periode 2004 - 2007. Mereka adalah Ivan Hariyanto, Surin Wilangon dan Yunus Jubair – ketiganya perupa. Tampaknya, setelah menduduki jabatan itu, barulah mereka tahu bahwa duduk jadi pengurus di Dewan Kesenian Kota Surabaya sedikitpun tak sama nasibnya dengan para wakil rakyat di Dewan Perwakilan Rakyat. Bisa jadi karena alasan itu ketiga Ketua Presidium hasil konvensi tersebut kemudian akhirnya memilih angkat kaki dari DKS bahkan jauh hari sebelum masa jabatannya habis. Adalah Surin Wilangon yang terlebih dahulu secara diam-diam meninggalkan kursi jabatannya di DKS. Sejak terpilih menjadi salah satu Ketua Presidium DKS, dia terlihat ngantor cuma selama seminggu. Selebihnya hingga sekarang dia tidak pernah kembali ke DKS. Kabarnya dia lari dari DKS sambil membawa sisa uang Rp. 50 juta yang dihibahkan Walikota Surabaya, Bambang DH, untuk pelantikan para pengurus DKS periode 2005 - 2007 di awal tahun 2005 silam. Menyusul tak lama kemudian satu per satu Ketua Presidium hasil konvensi lainnya mengikuti jejak Surin, menghilang dari DKS secara diam-diam. Bedanya, yang dua lainnya ini tanpa membawa apa-apa. “Pengurus DKS ternyata cuma aktif bekerja selama sebulan,” ungkap seorang seniman menyinggung ketiga Ketua Presidium DKS hasil konvensi yang sudah tidak pernah nongol di DKS ini. Adapun DKS, sejak berdiri tahun 1972, para pengurusnya memang tidak pernah digaji alias bekerja sebagai volunteer. Namun kasus desersi baru kali ini terjadi. Padahal, masih beruntung, sejak tahun 1999 Pemkot Surabaya mau bermurah hati dengan memberi kucuran Rp. 2 juta per bulan untuk DKS. Tapi dana segitu hanya cukup untuk menggaji pekerja fulltimer, bayar tagihan telepon dan langganan koran. Namun, sejak 2007 lalu, Pemkot menghentikan kucuran dana Rp. 2 jutaan per bulan untuk DKS tanpa alasan yang jelas. Akibatnya sejak itu tagihan telepon DKS nunggak hingga sekarang, langganan koran otomatis diputus oleh agennya dan gaji fulltimer-nya tidak terbayar. Dekan Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Arilangga (Unair), Aribowo, MA, menduga dihentikannya kucuran Rp. 2 jutaan per bulan itu karena DKS tidak pernah transparan dalam mengelola keuangannya. Dia mencontohkan bahwa sebenarnya DKS bisa memperoleh dana besar dari Pemkot, seperti Rp. 50 juta yang kemudian separuhnya dibawa lari oleh Surin itu. “Di banyak kesempatan juga sering dijumpai sumbangan dari berbagai pihak untuk kegiatan DKS yang seharusnya dijalankan salah satu komitenya, justru dikelola sendiri oleh ketuanya. Bisa jadi karena itu kemudian Pemkot enggan memberi dana dengan jumlah besar lagi untuk DKS,” ujarnya. Untuk itu, Aribowo menyarankan, hendaknya ke depan, kalau mau berkembang, DKS harus berubah, kalau tidak dia akan terasing dan malah tidak mendapatkan dana sama sekali dari Pemkot seperti sekarang ini. “Pemerintah wajib memfasilitasi DKS. Pun, sebagai feedback, DKS harus bisa memberi masukan kepada pemerintah untuk pengembangan kebudayaan dan kesenian. Juga memberi pertimbangan pada kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan kebudayaan kalau dibutuhkan,” tandasnya. Saat ini, Panitia Musyawarah untuk Pemilihan Ketua DKS periode masa jabatan 2009 - 2014 telah mempersiapkan aturan agar para kandidat, jika terpilih nanti, tidak lagi bisa main-main. Utamanya agar kasus desersi seperti yang dilakukan oleh para Ketua Presidium hasil konvensi tahun lalu tidak terjadi lagi. “Sempat terbesit aturan yang super ketat bagi masing-masing kandidat, semisal untuk menjadi kandidat harus mengambil formulir pendaftaran dengan biaya sebesar Rp. 5 juta. Ini untuk mengukur tingkat keseriusan kandidat dalam mencalonkan diri sebagai Ketua DKS,” terang Humas Panitia Musyawarah Pemilihan Ketua DKS, Farid Syamlan. Hal itu, menurut Farid, dimaksudkan agar seandainya kandidat itu nanti terpilih, biar tidak kaget kalau mendapat bantuan dana besar entah itu dari Pemkot atau instansi manapun. “Sebab biasanya kalau kaget, dana bantuan besar yang seharusnya diperuntukkan untuk program kerja DKS itu bisa-bisa langsung dibawa lari untuk dinikmati sendiri dan yang bersangkutan tidak akan pernah kembali lagi ke DKS,” ujarnya. Di tengah karut-marut berkepanjangan yang sedang melanda DKS hingga sekarang ini, tampaknya yang dibutuhkan DKS adalah seorang fighter di posisi ketua yang mampu menyiapkan dana untuk menjalankan program-program kerjanya. Sukur-sukur kalau dia mampu mendobrak birokrasi di Pemkot agar menyediakan dana anggaran program kerja DKS melalui APBD. Adakah yang berani mengambil tantangan ini? (Hanif Nashrullah/ Grafis: Saiful Hadjar)

Tuesday, February 10, 2009

Indonesia Perlu Referendum

Melihat latar belakang keluarganya yang mapan, rasanya sungguh di luar dugaan jika Pipit Rochijat Kartawidjaja kemudian menjadi musuh nomor satu rezim Orde Baru pimpinan mendiang Presiden Soeharto di Jerman. Sekilas, ayahnya, M. Kartawidjaja, yang bekerja sebagai pejabat Pabrik Gula (berpindah-pindah dari Jatiroto/ Lumajang, Semboro/ Jember, Ngadirejo/ Kediri, dan Surabaya) tentunya hanya mengalami masa-masa sulit di saat Partai Komunis Indonesia (PKI) berkuasa (1961 – 1965). Pada masa-masa sebelum itu dan bahkan selebihnya keluarga Kartawidjaja hidup dalam keadaan yang serba mapan. Sebagai seorang anak pejabat Pabrik Gula, Pipit pun dapat merasakan fasilitas yang tidak bisa dirasakan oleh anak-anak Indonesia pada umumnya ketika itu. Dia, misalnya, bisa sekolah bareng anak-anak orang Belanda di sekolah katolik di berbagai kota tersebut. Yang jelas, selapas SMA, pada tahun 1968, Pipit melanjutkan studi di Institut Teknologi Bandung. Lantas awal tahun 1971 dia hengkang ke Jerman (Barat). “Maklum, otak blong – artinya, yang masuk kepala langsung keluar. Waktu itu di Indonesia ada semboyan, yang bloon studi ke Jerman Barat,” kenangnya. Pipit pun melanjutkan studi teknik elektro di Technisce Universitaet, Berlin (Barat). Namun hanya mampu mencapai tingkat Sarjana Muda di tahun 1975. “Padahal bokap ingin saya jadi Doktor atau Ph.D segala. Agaknya saya punya otak nggak kuat. Lantas iseng-iseng nongkrong di jurusan Sosiologi di Freie Universitaet, dan studi elektro saya putus. Pada tahun 1977 saya bergabung menjadi anggota PPI Cabe (Persatuan Pelajar Indonesia Cabang Berlin),” tandasnya. Maka sejak itulah Pipit mulai ‘bergerak’. Saking banternya di pergerakan, sehingga segala gerak-geriknya selalu mendapat ‘perhatian khusus’ dari rezim Orde Baru. “Mainnya Bakin itu lihai sekali. Mau cabut kewarganegaraan saya, mereka tak punya landasan hukum. Padahal Indonesia katanya negara hukum. Tapi karena mereka maunya mencabut kewarganegaraan saya, maka dipilihlah jurus Frechtstaat alias negara nakalan. Jurus pertamanya, sejak tahun 1983, usia paspor saya cuma dikasih enam bulan terus, padahal normalnya dua tahun. Tahun 1986 dikasih setahun. Baru pada awal tahun 1987 paspor saya dicabut,” terangnya. Kendati demikian, Pipit masih berkewarganegaraan Indonesia. Bahasa resmi Konjen: paspornya 'disimpan' dan dia berstatus 'warga negara Indonesia tanpa dokumen'. Apa yang membuat Pipit lebih tertarik pada pergerakan politik ketimbang menggeluti keilmuwan dari gelar Sarjana Mudanya di bidang Teknik Elektro – terlebih dengan latar belakang keluarganya yang sebenarnya telah mapan? Berikut wawancara dengan Pipit Rochijat Kartawidjaja di tengah kesempatan pulang kampung di Surabaya belum lama lalu: Bidang studi kuliah yang Anda ambil Teknik Elektro, lantas apa yang sebenarnya membuat Anda putar haluan dan lebih memilih menggeluti pergerakan politik? -Konstitusi negara Jerman tampaknya mengharuskan warganya untuk berpolitik. Jerman adalah Negara Republik yang demokratis. Pembagian wilayah antara Negara, Masyarakat, dan Pemerintah di Jerman terlihat jelas sekali. Barangkali generasi penerus Jerman telah mempelajari kesalahan dari rezim Hitler sehingga negara tersebut kemudian dijalankan bagaikan sebuah organisasi. Maka rakyat harus turut berpartisipasi. Karena itu, anak-anak pun telah diberi pendidikan politik sejak dini. Pada usia kelas 3 SMP, anak-anak di Jerman sudah diwajibkan mengambil program parpol. Upaya lain adalah menggiring anak-anak usia SMA agar mengikuti seminar-seminar tentang politik. Di situ ditekankan bahwa politik itu tidak sama dengan ideologi. Pendeknya, politik selalu menghiasi di hampir semua aspek kehidupan di Jerman. Bisa jadi karena itu kebanyakan lulusan mahasiswa Indonesia yang studi di Jerman lantas tertarik untuk berpolitik. Bagaimana reaksi keluarga di tanah air mengetahui Anda terjun dalam pergerakan politik? -Tentu saja bokap keberatan kalau saya ada main politik-politikan. Karena itu saya bilang, biar saya cari nafkah sendirilah. Sebetulnya bokap ada kuat membiayai. Keberatan bokap, ya, bisa dimengerti sebab kala itu dia jadi pejabat. Dia dapat doku dari government, lah kok sekarang ngasih makan orang yang melawan government. Maka sejak tahun 77, ketika mulai main politik-politikan, saya kerja angkat-angkat alias nguli di pabrik-pabrik. Setelah itu angkat-angkat piring dan hidangan alias pelayan restoran. Waktu itu rezim Orde Baru, seperti apa persisnya pergerakan yang anda lakukan dalam menentang otoritas Presiden Soeharto? -Perlawanannya sebatas kritik, lewat tulisan-tulisan di berbagai surat kabar. Atau paling banter, ya, berdemonstrasi. Apa itu yang membuat paspor anda kemudian dicabut? -Paspor saya dicabut tahun 1987 karena dianggap sebagai dalang berbagai aksi demonstrasi. Alasan resminya sih karena dianggap memecah belah mahasiswa (Indonesia di Jerman). Pelemparan telur busuk oleh mahasiswa Indonesia saat Pak Harto melakukan kunjungan kenegaraan ke Jerman, Anda dituduh ikut terlibat dalam aksi itu, apa memang begitu? -Peristiwa Dresden 1994, saya tidak di sana waktu itu. Memang sering kok saya dituduh seperti itu dalam aksi mahasiswa di Jerman lainnya meski saya tidak sedang berada di sana saat kejadian berlangsung. Sudah biasa saya menerima tuduhan semcam itu. Ketika passpor Anda dicabut 1987, susahkah Anda dalam menjalani kehidupan sehari-hari selanjutnya, khususnya dalam berinteraksi dengan masyarakat atau atau dalam berurusan dengan Pemerintah Jerman itu sendiri? -Ternyata tidak dipersulit. Mungkin karena Jerman Barat tunduk kepada Perjanjian PBB, maka Jerman Barat musti membuat saya jadi 'manusia’. Karena tanpa dokumen kan jadinya demit atawa hantu. Pemerintah Jerman Barat bahkan menyuruh-nyuruh saya menerima dokumen. Nah, inilah yang dinantikan pihak perwakilan. Kalau saya mau menerima dokumen bersifat paspor, maka perwakilan punya alasan mencabut kewarganegaraan saya. Sebab ada Undang-undangnya, yaitu kewarganegaraan akan hilang bila sang warga negara ini memegang dokumen bersifat paspor dari negara asing. Itulah pasalnya, setiap tahun, perwakilan selalu menulis surat resmi ke pihak imigrasi Jerman, menanyakan dokumen apa yang sedang saya pegang. Cuma, pihak imigrasi Jerman Barat, ogah menjawab. Beberapa kali saya perpanjang izin tinggal, dan mereka selalu memberi tahu saya tentang keingintahuan pihak perwakilan itu. Untuk mengurus dokumen menjadi warga negara Jerman, misalnya, apakah susah? -Ada tahapan-tahapan prosudernya dan kalau itu dijalani, ya, tidak begitu susah. Untuk gampangnya, kenapa Anda tidak memilih mengajukan diri jadi warga negara Jerman saja? -Ketika reunifikasi Jerman 1990, sebenarnya saya telah ditawari itu dengan prosedur yang lebih gampang. Tapi saya tolak. Kenapa? -Saya ‘bergerak’ tahun 1977, ikut berpartisipasi untuk Indonesia. Terlebih, ternyata Indonesia tidak dikenal di luar negeri. Orang Indonesia tidak dianggap ada. Sedih sekali rasanya kalau meninggalkan Indonesia dalam kondisi seperti itu. Indonesia baru dikenal orang Eropa, ya, sejak zamannya Bom Bali tahun 2002 kemarin itu. Ketika Pak Harto lengser, tahun 1998, akhirnya Anda bisa pulang ke tanah air setelah sekian lamanya menjadi exil di negeri orang, bagaimana rasanya? -Ya, Pak Harto lengser Mei 1998, saya langsung pulang ke tanah air pada bulan berikutnya, Juni 1998. Ternyata warisan Pak Harto itu luar biasa sekali. Saya melihat kesemrawutan, seperti contohnya di jalan raya. Orang kita tidak bisa tertib, tidak bisa antre. Itulah warisan peninggalan Pak Harto yang masih kuat mengakar hingga ke lapisan masyarakat bawah yang bahkan masih berlangsung sampai sekarang. Rasanya di masa Orde Lama, ketika saya meninggalkan Indonesia, keadannya jauh lebih tertib. Apakah Anda melihat telah ada perubahan dari hasil yang telah dilakukan Pemerintahan setelah rezim Soeharto? -Yang paling tampak adalah perubahan pada pers yang sekarang sudah sangat bebas. Kehidupan demokrasi juga sudah mulai ada dengan beberapa catatan-catatan. Yang jelas, demokrasi sudah berjalan, di antaranya karena ada pemilu. Komentar Anda tentang Pemilu di Indonesia? -Pemilu merupakan salah satu kegiatan demokrasi dan itu sudah mulai dijalankan di Indonesia– yang Pemilu 1999 kita abaikan saja – katakanlah mulai tahun 2004. Nah, pertama, yang belum ada di Indonesia adalah referendum, bukan referendum seperti yang di Timor Timur, tapi referendum hak bertanya di pertengahan masa jabatan. Seharusnya, dengan adanya referendum ini, rakyat, melalui perwakilan-perwakilan – entah itu organisasi atau LSM, terserah bunyi konstitusinya – berkesempatan menurunkan anggota dewan yang dinilai selama bertugas sampai di paruh waktu masa jabatannya itu dinilai tidak mengaspirasikan suara rakyat agar diganti dengan yang baru. Di Negara-negara maju seperti di Eropa, referendum sudah lama diterapkan. Di Swiss, bahkan pelaksanaan referendumnya lebih gila lagi. Tidak hanya digelar di paruh waktu masa jabatan, tapi dibebaskan kapan saja, sehingga warga berkesempatan lebih sering menggelar referendum. Kedua, sebetulnya pemilu ini dipasung. Pemilu nasional dan daerah dijadikan satu penyelenggaraannya. Seharusnya dipisah, karena dengan begitu rakyat pada akhirnya tidak bisa membedakan mana isu nasional dan lokal/ daerah yang dikampanyekan oleh para caleg. Contoh, Pak Henky Kurniadi, misalnya, dalam setiap kampanyenya dia menyuarakan isu nasional atau daerah? Dengan ambiguitas yang seperti itu maka masyarakat tidak pernah dididik. Itu namanya pemasungan. Padahal, dengan penyelenggaraan Pemilu yang dipisah antara daerah dan nasional maka akan ada kontrol terhadap pemerintah. Yaitu kontrol di tengah-tengah. Maksudnya, setelah pemilihan di daerah, jika partai-partai yang terpilih itu di tengah jalan terbukti tidak menyuarakan aspirasi rakyat, maka dalam pemilu tingkat nasional rakyat tidak akan memilihnya. Ketiga, partai lokal tidak ada (selain di Provinsi Nangroe Aceh Darussalam). Padahal, buktinya, berdasarkan statistik hasil pemlu 2004, PKB itu pemilih terbesarnya berasal dari warga lokal, Jawa Timur. Satu lagi keuntungan dengan keberadaan partai lokal ini adalah jika dalam perjalanannya dia menjadi partai yang kuat, maka dia bisa mengembangkannya menjadi partai lokal yang lebih luas lagi ke daerah lainnya, begitu seterusnya hingga dia bisa semakin besar menjadi partai nasional. Pada intinya, perpolitikan di tanah air sebenarnya belum demokratis betul karena semuanya masih diperitah oleh pusat. Dengan setiap kali Pemilu muncul partai baru, dan karena itu muncul caleg-caleg baru pula yang seringkali asal comot saja dengan kualitasnya yang tidak jelas, komentar Anda? -Itu sebenarnya tidak masalah. Yang seperti ini juga terjadi di Eropa. Toh juga akan memberi pembelajaran pada masyarakat dan masyarakat pada akhirnya nanti akan memilih parpol yang sering masuk parlemen. (Naskah & Foto: Hanif Nashrullah)

Monday, February 9, 2009

Kontrak Politik Tak Hanya di Atas Kertas

Dedengkot aktivis buruh asal Kota Surabaya, Danu Rudiono, menyarankan agar kontrak politik, yang kerap digunakan sebagai alat dalam berkampanye, hendaknya tak hanya sekadar tertulis di atas kertas. “Tapi harus langsung dipraktekkan,” ujarnya, Minggu (8/2), di Surabaya. Menurut Danu, model kampanye dengan sekadar membagibagikan uang ke masyarakat sudah bukan zamannya. Serta model kampanye dengan membikin kontrak politik ( di atas kertas) sudah tidak lazim. “Sekarang sudah waktunya berkampanye turun langsung ke masyarakat untuk merealisasikan apa yang selama ini dikenal dengan kontrak politik itu,” terangnya. Lebih lanjut dia berharap agar para calon legislatif atau presiden yang akan bertarung dalam Pemilu 2009, bulan April mendatang, ada concern untuk melakukan model kampanye seperti ini. “Tidak susah, kok,” tandasnya. Tinggal membentuk timnya, yaitu semacam Lembaga/ ‘Center’, yang bukan sekadar berfungsi sebagai lembaga pengaduan, melainkan lembaga yang akan memberi tindakan langsung. Maksudnya, kalau ada kasus bersedia langsung memberikan kontribusi, seperti mengadukan masyarakat yang diperlakukan tidak adil, semisal orang-orang yang dalam membuat KTP dipersulit, atau memperjuangkan hak-hak korban Lumpur Lapindo dan lain sebagainya. “Jadi kerjanya konkrit, tidak sekadar janji,” terangnya. (Naskah & Foto: Hanif Nashrullah)

Thursday, February 5, 2009

Problematika Tubuh bagi Aktor dan Aktris

Terbentuknya budaya dari berbagai nilai tak lain berawal dari tubuh. Semua peradaban berkaitan langsung dengan kelebihan, keterbatasan maupun pengagungan tubuh manusia---mulai dari militerisme, seni, filsafat hingga kosmetika. Antropologi visual memperlihatkan banyak produk karya seni yang dapat dinikmati dengan mata, terutama fotografi dan film, menyingkap bagaimana seni melakukan pergulatan panjang dengan tubuh manusia. Sebuah godaan yang pada gilirannya terkesan lebih mirip dengan bagaimana manusia sebenarnya gemetar melihat tubuhnya sendiri karena ia bisa sakit, terluka, lumpuh, tua, cacat dan mati. Tubuh manusia adalah medan perang dengan lalu lintas nilai yang bergerak di sekitarnya, mulai dari soal kegagahan dan kecantikan; ikon ras, ideologi dan agama, hingga ke ikon kelas ekonomi yang menegaskan diri dari pakaian yang dikenakan. Teater (dan Tari) merupakan godaan terbesar dalam kerja kesenian, karena keduanya hidup sebagai kesenian yang paling dekat dengan manusia. Terlebih kedua bidang seni ini menggunakan media langsung dari dirinya, yaitu tubuhnya sendiri. Bidang kesenian yang lain menggunakan alat atau media yang berjarak dengan – dan bukan bagian langsung dari – tubuhnya. Karena itu pula tubuh teater (dan tari) merupakan tubuh yang mengalami langsung kegelisahan menguasai posisi ketika tubuh sudah berada di ruang pentas dengan mata penonton yang terus menatap setiap gerak dan tindakan. Tubuh-tubuh itu mengalami langsung seluruh proses gelombang objektifikasi maupun subjektifikasi yang bergelora di ruang pentas. Seniman dari bidang lain tidak mengalami kegelisahan tubuh seperti ini. Mereka telah mati ketika karyanya sudah sampai di tangan pembaca sebagai karya sastra, senirupa atau musik. Sementara aktor (dan penari) mempertaruhkan langsung tubuhnya di atas panggung dari penilaian mata penonton. Mereka juga harus menghadapi resiko lain kalau listrik mati atau ada pemain yang sakit menjelang pentas. Yang menjadi taruhan bagi seorang aktor (dan juga penari) adalah bagaimana ia bisa membawakan teater (dan tari) yang kemudian dapat membangun “budaya publik” sebagai bagian dari kualitas kehidupan bersama umat manusia. Aktor (dan aktris) dalam pertunjukan-pertunjukan yang disutradarai Konstantin Stanislavsky rata-rata buruh. Tubuh aktor itu memiliki pengalaman kerja masing-masing. Tubuh itu juga mengalami konflik ideologis sebagai buruh, mengalami langsung transformasi peran dari rumah hingga pabrik (tempat mereka bekerja), dan panggung teater (tempat mereka pentas). Ada semacam kontinyuitas perubahan peran yang berlangsung dalam lingkungan sosial mereka; kontinyuitas yang bisa disebut sebagai keberlanjutan teater sosial ke teater pertunjukan. Karena itu pula hubungan teater dengan realitas sosial seperti ini mudah untuk membuat politik menjadi teater atau sebaliknya teater menjadi politik. Lembaga-lembaga negara dan politik (parlemen, eksekutif, lagislatif dan partai), juga sudah menjadi teater politik. Vsevolod Meyerhold, contohnya, yang mengembangkan metode akting “biomechanics” dalam teater di Rusia, akhirnya harus menjalani hukuman mati di bawah pemerintahan Stalin---memperlihatkan bagaimana negara masuk begitu jauh ke dalam mati hidupnya seorang seniman teater. Pabrik dan teater, atau aktor dan buruh, seperti yang ditangani Stanislavskiy, bagaikan sebuah pertemuan yang panas antara aktor dengan peran. Tetapi kondisi mental para aktornya masih memiliki sisi lain. Kalau ditanyakan peran apa yang ingin mereka mainkan? Kebanyakan mereka ingin memerankan raja atau ratu. Padahal mereka belum pernah merasakan hidup sebagai raja atau ratu. Rata-rata mereka adalah buruh. Karena itu teater bisa menjadi “rumah gila” bila hal ini tak terpecahkan---begitu tulis Stanislavsky dalam biografi teaternya. Kebanyakan aktor (dan aktris) di Indonesia berangkat dari kondisi yang sama sekali tak sama dari yang terjadi di Rusia. Kebanyakan mereka adalah anak muda, mahasiswa/i atau penunggu kesempatan kerja. Tubuh mereka bisa dibayangkan sebagai tubuh yang belum memiliki banyak pengalaman transformasi peran. Tubuh mereka lantas diisi dengan banyak teori-teori dramaturgi, terutama latihan fisik sebagai aktor—olah vokal, olah tubuh dan pernafasan. Latihan-latihan seperti ini sering kali tumbuh dari lingkungan yang melihat teater sebagai tempat para pertapa melakukan latihan meditasi, atau sebaliknya yang berkesan militeristik: tempat para kesatria beradu kekuatan. Karena itu pula teater modern di Indonesia menjadi sangat ‘lelaki’. Sebenarnya, di balik meditasi ada semacam argumentasi untuk penggalian pengalaman kedalaman yang diperlukan actor: membuka wawasan ke dalam diri. Sementara untuk olah tubuh juga ada semacam argumentasi: untuk pengembangan wawasan ketubuhan aktor. Keduanya bisa dianggap sebagai modal dasar untuk menjadi seorang aktor. Tetapi sebenarnya lebih dari itu. Kedua latihan ini sudah menjadi teater tersendiri. Namun seringkali justru bisa menutup diri untuk terjadinya transformasi peran dalam kerja teater. Meditasi dan latihan tubuh yang militeristik bahkan bisa menggiring tubuh aktor ke dalam stereotip tertentu, yang justru bisa “meringkus” peran yang sedang mereka jalani. Alhasil banyak pertunjukan teater yang penuh dengan teriakan, suara keras, tubuh yang tegang, atau kedalaman meditasi yang berlebihan yang hampir menjadikan dirinya “kolam narsistik”. Terlebih yang hadir bukan lagi aktor dengan tubuh yang memerankan, melainkan tubuh yang “mengatasi” peran, “menyungkupi” peran. Tubuh itu belum sungguh-sungguh membuat “pertemuan khusus” dengan peran yang akan mereka bawakan. Kerja sutradara dengan tubuh aktor seperti ini tidak akan pernah jauh dari kerja permainan bentuk. Teater dengan model latihan di atas sebenarnya cenderung melahirkan teater anti-peran dan anti-cerita. Teater ini lebih dekat dengan model “kesurupan” dalam seni pertunjukan tradisi Indonesia. Namun yang ini lebih sebagai “kesurupan-yang-disadari”. Dalam model ini, energi yang tumbuh dalam tubuh aktor jauh lebih menentukan daripada prosedur-prosedur personifikasi yang ditempuh untuk mendekati peran. Teater dengan model ini memiliki potensi besar membuka “jalan tubuh” sebagai jalan dramaturgi, ketika aktor bisa mengatasi masalah “pengelembungan” diri yang cenderung “mengatasi” peran kemudian menemukan kerja pemeranan sebagai “menjadi”. Dalam kenyataannya, budaya tubuh yang berlangsung dalam kebanyakan aktor di Indonesia memang lebih dekat dengan kerja pemeranan “menjadi”, dibandingkan dengan konsep pemeranan “transformasi” yang lebih bermain di tingkat disain dan eksekusi terhadap desain pemeranan yang dijalani. Membangun budaya tubuh lewat pendekatan “menjadi”, yang awalnya diperkenalkan oleh Rendra, ini memiliki banyak resiko membuahkan “tubuh-gila” atau “tubuh-narsis”, terutama ketika pendekatan itu gagal menemukan bahasanya. Atau lebih tepatnya gagal membaca pendekatan itu sebagai media penyutradaraan sekaligus peralatan aktor, lalu terperangkap dalam banyak stereotip super ego yang dibiarkan ikut mendominasi pemeranan. Tubuh-teater memang sensitif untuk terperangkap dalam stereotip tertentu tanpa disadari dan menghasilkan “ego-stereotip” pula. Ego-stereotip ini mudah tumbuh lewat latihan dasar dan hubungannya dengan peran-peran besar dari naskah yang mereka pentaskan. Medan perangkap itu cukup mudah dibaca: tubuh aktor bekerja dengan memori untuk memasuki peran; ketika memori dipenuhi oleh stereotip, maka kesempatan aktor untuk melakukan “pertemuan khusus” dengan peran hampir sulit terjadi, terhadang oleh ego-stereotipnya sendiri. Barangkali ini cukup menjelaskan bahwa tubuh (baik tari maupun teater) bukanlah sebuah dunia yang berdiri sendiri. Sebuah bukti bahwa tubuh mudah terperangkap dalam ego-stereotip yang membentuknya. Sebagaimana pergaulan teater yang timpang dengan naskah. Semisal kerja teater pada kebanyakan kelompok teater diawali dengan keputusan memilih naskah. Seolah tanpa cerita, teater seakan-akan menjadi tidak mungkin dimengerti. Pun sebagian besar dari liputan-liputan media massa cetak atas pertunjukan teater juga lebih banyak berangkat dari sinopsis cerita yang dipentaskan. Beberapa lembaga pun secara kontinyu menyelenggarakan workshop-workshop penulisan naskah. Seakan-akan penulisan naskah tidak beda jauh dari teknik dan teori tulis-menulis, tanpa terlalu perduli dengan konsep dramaturgi dari teater yang akan dikembangkan oleh sang penulis. Ketergantungan teater terhadap cerita bisa dilacak lebih jauh sebagai bagian dari kerja budaya lisan yang membentuknya. Pada gilirannya, ketergantungan itu menggiring tubuh aktor menjadi “tubuh-naratif”, yaitu tubuh yang mengabdi pada cerita; tubuh yang banyak bekerja meneruskan pesan-pesan di luar peran. Semisal mengatakan “tidak” sambil menggeleng-gelengkan kepala atau telapak tangan berkali-kali, adalah contoh yang paling mudah ditemukan dari “tubuh-naratif” ini di banyak pertunjukan. Tubuh-naratif itu tidak berbeda jauh dari tubuh-stereotip, terutama dalam memerankan tokoh ibu, ayah dan tokoh-tokoh lain yang sudah menjadi stereotip. Terjadilah perubahan karakter peran yang berusia pendek lewat tubuh dan kostum yang dikenakan aktor. Tubuh-naratif ini tak lain merupakan hasil konstruksi tak sadar dari politik budaya lisan yang berlangsung dalam pergaulan sehari-hari. Perangkap ini mungkin bisa dihindari apabila eksplorasi awal yang dilakukan oleh kelompok teater ketika memasuki sebuah proyek pertunjukan melakukan pembongkaran terhadap memori-memori stereotip yang menguasai tubuh mereka. (Naskah & Foto: Hanif Nashrullah---dikumpulkan untuk memenuhi tugas akhir semester (1) mata kuliah Olah Tubuh, Program S-1 jurusan Seni Teater, Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta Surabaya)

Wednesday, February 4, 2009

'Adjhing', Genre Drama Pertama di Madura

Adjhing diyakini sebagai genre drama pertama di Madura yang konon mendahului Loddrok (teater tradisi asli Madura lainnya yang, menurut sebagian besar pengamat, diserap dari perpaduan antara Ludruk, Jawa Timur, dan Ketoprak, Jawa Tengah). Di Pamekasan dan Bangkalan, Adjhing, pada awalnya, lebih dikenal dengan istilah Pandjhak atau Nadjagha, yaitu rekan sepermainan di dalam pertunjukan topeng di dalam acara salabadhan atau podjhian. Istilah lain dari adjhing, yang masih terkait dengan kegiatan musikal yang berisifat parodi dan ritual adalah semprong; yaitu menyangkut pelawak atau perangkat gong dari bambu yang mengiringi mereka pada acara salabadhan. Mudah-mudahan sampai sejauh ini tidak dibingungkan oleh beragam istilah di atas. Yang jelas, Adhjing di Madura lahirnya diyakini hampir bersamaan dengan munculnya ketoprak (Jawa Tengah) dan Ludruk (Jawa Timur), yaitu pada sekitar abad 19. Adjhing itu sendiri oleh masyarakat Madura dikenal sebagai suatu pertunjukan musikal tanpa topeng yang bersifat “doa pembawa kebaikan atau keagamaan”. Tak jauh beda dengan Ludruk dan Ketoprak, pada awalnya Adjhing dimainkan oleh sekelompok laki-laki namun yang satu ini diiringi oleh orkes Saronen. Berturut-turut, keseluruhan bagian pementasan Adjhing, meliputi: tari Baladewa, tari Ronding, dan lantas dilanjutkan oleh dagelan tentang kehidupan sehari-hari dan adegan yang dipetik dari kisah ‘Seribu Satu Malam’. Diperoleh keterangan tentang sejarah dan perkembangan tentang rombongan kelompok kesenian Adjhing di beberapa daerah di Madura. Di Ambunten, misalnya, hingga tahun 1980-an, sebuah rombongan Adjhing atau semprong diakui masih berpentas pada upacara ritual tertentu (rokat) diiringi oleh orkes saronen. Menurut informasi, pada waktu itu ceritanya mengandung banyak lelucon dan tidak menyebutikan kerajaan apa pun. Yang muncul pertama adalah tokoh Cuntrot, berbusana celana dan kemeja lengan pendek, memakai selendang di leher. Terdapat sebuah keris yang disisipkan di belakang pundaknya, berkaca mata hitam dan berkumis. Dia berjalan santai tanpa topi, diringi ‘ghending pancal bereng’. Selesai mengelelingi pentas tiga kali dia kembali ke tempat persiapan pemain. Busananya terlihat biasa saja, seperti pakaian sehari-hari; songkok beledu, celana dan baju untuk laki-laki. Serta kain batik, kebaya dan tutup kepala menerawang (tanpa sanggul Jawa) untuk perempuan. Satu-satunya hiasan fantasi adalah sebuah bando yang disisipi bulu ayam dan kaca mata kehitam-hitaman, yang dikenakan oleh tokoh raja, ratu dan patih. Disebutkan pula, aktor lainnya adalah para pemuda yang memakai sebuah penjhung, yaitu sejenis selendang yang dijadikan ikat kepala dengan ujungnya terkulai di sebelah kanan. Di Kalianget Barat, pernah dikisahkan tentang Adjhing yang diperankan oleh sejumlah aktris (perempuan) yang memakai kaca mata gelap dan mengenakan sejenis cadar. Pada saat bernyanyi (ngejhung), mereka terlihat lebih sering menutup mulut dengan sapu tangan, mungkin karena malu. Terungkap pula bahwa adjhing yang pernah dipentaskan di Saronggi, di masa zaman kemerdekaan dulu, mengisahkan adegan kehidupan sehari-hari tanpa struktur yang jelas. Hanya ada dua tokoh, yang memang harus selalu ada, yaitu Gusti Patih (Bhupate) dan Konieran (pesuruhnya atau pasoro). Para tokoh bertingkah lucu seperti pelawak sambil memberikan wejangan dan nasihat pendidikan. Di Tanjung, adjhing bahkan diakui telah ada sejak zaman Belanda. Dikisahkan bahwa awalnya pertunjukannya sangat sederhana sekali tanpa dekor. Mereka hanya bermain untuk orang sekampung dan yang dimainkan adalah sandiwara, bukan ketoprak. Jumlah anggotanya tiga puluh orang. Mereka mempunyai gamelan buatan Yogyakarta yang bagus sekali, terbuat dari adonan perunggu dan perak. Menjelang Kemerdakaan pada tahun 1943, kelompok ini berubah menjadi ketoprak. Sebelum tahun 1960-an, Adjhing diketahui masih tampil tanpa panggung yang sebenarnya dan hanya dengan sehelai tirai latar belakang saja, tanpa menarik biaya masuk. Kelompok ini berpentas atas dasar undangan ketika ada pesta atau upacara pribadi. Pada awalnya rombongan kelompok jenis kesenian ini hadir tanpa nama khusus. Adjhing juga diketahui merupakan ritus lama (salamadhan kona) yang diselenggarakan di makam keramat. Acaranya terdiri dari satu Ghambu yang ditarikan oleh dua penari laki-laki dan satu tarian Ronggeng yang dimainkan oleh dua laki-laki berbusana perempuan. Seorang laki-laki berkacamata hitam dan bersongkok, sambil menyandang tas, berjalan mengelilingi sebuah meja berisi sesajen (rasol) sambil terus berbicara dan bergurau. Para tokoh adegan yang menyusul adalah: Tuan (biasanya berperan sebagai seorang Belanda), Pasoro Opas (Pesuruh Tuan), Raden Abupati (Bhupate), Konieran (Pelawak dan Pasoro Pepate – Pesuruh Patih), dua Dinraddhin (Raden), dua ronggeng (penari perempuan) serta Mantre Tandhang (Juru Tari). Di atas panggung, Tuan tampak duduk, berdiri lalu memanggil pesuruhnya; Mantre Tandhang masuk lalu keluar; Raden Abupati lalu masuk, menari dan keluar. Muncul para ronggeng, menari, dan keluar sambil mengambil sesajen di meja; Tuan dan pesuruhnya lalu makan sisa sesajen di ata panggung sebelum keluar. Ghambu memainkan peran sebagai pegawai Tuan dan ronggeng sebagai pembantunya. Bentuk adjhing ini mirip slempangan yang mengejek serdadu yang telah mendaftar sebagai tentara Belanda maupun Belanda itu sendiri. Sementara itu, pertunjukan lainnya yang disebut ronding atau saronen hanya merupakan sebagian dari pertunjukan Adjhing lengkap. Adapun Ludruk Madura, atau yang oleh masyarakat setempat disebut loddrok, tak lain diilhami oleh unsur dagelan adjhing lama; permainan kata, mimik, gerak badan, serta wajah berias warna hitam dan putih. Pelayan-pelayan tidak memotong percakapan tokoh utama dan sebagian besar adegan lucu bersifat visual atau kial, seperti kapas di lubang hidung yang bergerak ketika tokoh bernafas, satu lengan kemeja yang dibiarkan melambai tidak dipakai dan sebagainya. Raja tidak boleh merayu perempuan dan langsung naik panggung tanpa menari. Sebaliknya, para patih dari dulu selalu menari, dan berdiri ketika raja masuk, sebelum kemudian duduk kembali. Termasuk pada tahapan (babak) berikutnya yang dikenal sebagai Ludruk Sandiwara: patih pada waktu memakai perhiasan pergelangan tangan dan leher seperti di dalam busana keraton Jawa, tanpa tutup kepala dan panggung sudah lengkap dengan tiga kain sebagai latar belakang. Terakhir muncul ludruk-ketoprak pada tahun 70-an. Pada saat itu, nama ludruk harus dirubah menjadi ketoprak supaya cocok dengan keadaan yang berlaku di Jawa. Bahkan ceritanya harus disusun oleh para guru atau pegawai. Dalam perkembangannya, banyak pengamat berpendapat bahwa jenis teater musikal tanpa topeng yang ada di Madura dikatakan terilhami oleh ludruk dan ketoprak dari Jawa. Ini karena pertunjukan sejenis itu di Madura biasanya mengandung acara pendahuluan yang banyak meminjam pada Ludruk Jawa Timur, serta acara pokoknya diilhami dari Ketoprak Jawa Tengah, meski seluruh pertunjukan berlangsung dalam bahasa Madura dan bukan dalam bahasa Jawa, serta menggunakan iringan gamelan. Justru, bagi yang tidak tahu apa-apa tentang Ludruk Jawa Timur, maka akan mengatakan bahwa Loddrok adalah merupakan keseian teater tradisi asli Madura, sedangkan yang asli Jawa adalah Ketporak dan keduanya memperagakan lakon-lakon setempat, di dalam bahasa setempat. Namun kebanyakan bahwa mereka yang berpendapat bahwa Loddrok adalah asli Madura tak lain karena mempertimbangkan faktor Adjhing Madura itu tadi, yang ciri lakawannya memang kemudian diwarisi oleh Loddrok. Sayang sekali, baik Adjhing maupun Lodrok itu sendiri yang merupakan genre awal teater di Madura saat ini tampaknya sudah punah seiring perkembangan zaman yang kian modern. (Hanif Nashrullah/ Foto: Surabaya Pagi---dikumpulkan untuk memenuhi tugas akhir semester (1) mata kuliah Sejarah Teater Jawa Timur, Program S-1 jurusan Seni Teater, Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta Surabaya)

Monday, February 2, 2009

“Tuk”, Masterpiece Teater Gapit

Lakon ‘Tuk’, yang ditulis oleh mendiang Bambang Widoyo SP dari Teater Gapit, bercerita tentang nasib wong cilik dan kaum miskin yang tinggal dalam lingkungan Magersaren---tempat hunian tak tercatat dalam satu areal yang ditinggali turun-temurun. Penghuninya terdiri atas tukang jahit, bakul pasar, preman, pengangguran, tukang kerok, tukang tambal ban, dan pedagang kelontong keliling. Mereka hidup dikelilingi oleh sumur, gubuk-gubuk sempit sewaan nan bobrok dan saling bertempelan rapat. Di sanalah mereka hidup bertetangga, saling berbagi gosip dan cerita, berbagi keresahan dan derita, dari masalah ember bocor hingga naiknya uang sewa. Tampaknya mereka disatukan oleh nasib sebagai orang kecil, marginal, yang sedang menghadapi kekuasaan pemilik Magersari dan pemilik modal besar yang kabarnya hendak menggusur areal tempat tinggalnya untuk dijadikan pertokoan modern. ‘Tuk’, judul pementasan ini, yang berarti sumber air, yang juga berarti sumber kehidupan, memang berpusat di sebuah sumur yang menjadi pemasok air bersih bagi penghuni Magersaren. Ketika sumur sumber kehidupan itu ternoda lantaran dikencingi oleh tokoh preman bernama Soleman alias Lisman Lempit dan dijadikan lokasi perselingkuhan Menik (anak pemilik magersari), penunggu sumur pun murka. Lingkungan kumuh Magersaren itu lantas diamuk api dan terbakar habis. Bersamaan dengan itu, Mbak Kawit, janda tua tanpa anak yang menjadi panutan di lingkup perkampungan kumuh ini, menghembuskan nafas terakhir. Pementasan panjang berbahasa Jawa, dengan durasi hampir tiga jam, yang membutuhkan banyak nafas itu pun berakhir. Tuk yang ditulis Bambang Widoyo SP pada tahun 1989 dan dipentaskan keliling ke berbagai kota hingga pertengahan 1990-an inilah yang mengangkat Teater Gapit---teater berbahasa Jawa asal Solo---menjadi teater realis yang kemudian sangat diperhitungkan di tanah air. Sejumlah pengamat meyakini, dari sekitar delapan naskah lainnya yang pernah ditulis Bambang Widoyo SP (semuanya berbahasa Jawa) untuk Teater Gapit sejak 1982 (dia meninggal tahun 1996), lakon ‘Tuk’ ini merupakan karya masterpiece-nya. Oleh karena Bambang Widoyo SP merupakan pendiri Teater Gapit, maka ‘Tuk’ pun masterpiece-nya Teater Gapit pula. Penilaian ini didasari oleh saratnya muatan sastra dan filsafat dalam naskah ‘Tuk’, serta didukung oleh garapan panggung yang apik, diperankan oleh para aktor dan aktrisnya dengan sangat kuat sekali dan menyatu dengan naskah. Hal ini tak lain karena dalam sejarah pementasan Teater Gapit sejak awal, pada tahun 1980-an, telah melibatkan para pendukung yang yang berasal dari mahasiswa Akademi Seni Karawitan Indonesia Surakarta---yang memang sangat akrab sekali dengan elemen-elemen seni budaya tradisi Jawa. Pada akhirnya para pendukung ini benar-benar memperkaya seluruh pementasan Teater Gapit. Kehadiran mereka bukan hanya sekadar sebagai pemain, melainkan juga sebagai kontributor yang konkret sejak proses penulisan naskah hingga pemanggungan karena masing-masing memiliki latar keterampilan yang memadai, seperti karawitan, pedalangan, dan tari. Itulah yang membuat pementasan Teater Gapit terasa utuh dan memperlihatkan kekompakan dari setiap unsur pemanggungannya. Konon Teater Gapit menggunakan media bahasa Jawa lisan atau sehari-hari yang terasa vulgar bagi telinga priayi merupakan sebuah pilihan akan sebuah genre yang berpretensi bahwa sastra Jawa (modern) akan bisa diterima di tengah masyarakat (Jawa) yang selalu berubah. Inilah yang membedakan Teater Gapit dengan bentuk sandiwara berbahasa Jawa lainnya, baik di panggung maupun radio. Pun terbukti, sejak itu, pisuhan-pisuhan atau umpatan yang oleh para aktor Teater Gapit dilontarkan dengan fasih di atas panggung kemudian banyak ditiru oleh kelompok teater lainnya. Ironisnya, ketika kalangan pemerhati memprihatinkan perkembangan sastra Jawa yang dewasa ini dibilang ”mati suri”, namun fenomena Teater Gapit itu sendiri dengan lakon-lakon yang ditulis oleh Bambang Widoyo SP tidak pernah menjadi bahan telaah di tengah masyarakat sastra dan bahasa Jawa. Teater Gapit sendiri ikut mati sepeninggal Bambang Widoyo SP pada tahun 1996. Belakangan ini para ‘alumnusnya’ mencoba bangkit lagi sejak pertengahan 2008 lalu. Kali ini tidak lagi menggunakan nama Teater Gapit, tapi memilih menamakan diri sebagai Teater Lungid. Mereka mengawalinya dengan kembali mengangkat Lakon ‘Tuk’. Di antaranya telah dipentaskan di Teater Arena Taman Budaya Surakarta, 26 – 28 Juli 2008, serta Komunitas Teater Salihara Jakarta, 24 – 25 Oktober 2008. Tercatat para mantan aktor Teater Gapit seperti Pelok Sutrisno, Budi Bayek, Wahyu Cunong, Djarot B Santoso, dan Cempluk Lestari turut ambil bagian dalam pementasan ini. Mereka yang sudah tidak berusia muda lagi itu masih menunjukkan stamina yang prima sebagai aktor. Penampilan mereka menimbulkan harapan bagi banyak penikmat teater di tanah air agar pementasan Teater Lungid dengan naskah masterpiece ‘Tuk’ ini tidak sekadar menjadi ajang reuni belaka bagi para mantan komunitas Gapit. Mudah-mudahan saja mereka kedepan bisa kembali meramaikan pentas teater tanah air dengan gebrakan barunya sepeninggal sang maestro Bambang Widoyo SP. (Hanif Nashrullah/ Foto: Istimewa---dikumpulkan untuk memenuhi tugas akhir semester (1), mata kuliah Sejarah Pertunjukan Indonesia, Program Studi S-1, jurusan Seni Teater, Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta Surabaya)

Sunday, February 1, 2009

Kesenian yang Menyelamatkan Jemek

Masa remajanya dikenal dengan nama Pardi Kampret. Julukan itu diberikan bukannya tanpa alasan, melainkan sengaja dipersembahkan untuknya atas bakat mencopetnya yang terbilang handal. Kelincahannya membuat ia jarang tertangkap saat ketahuan mencopet. Keahlian itu membuat lelaki berperawakan kurus ini menjadi disegani oleh rekan-rekannya sesama pencopet yang tergabung dalam Geng Lowo Ijo. Lahir di desa Pakem, Sleman, Yogyakarta, 4 Maret 1953, Pardi Kampret, yang kini terkenal dengan nama Jemek Supardi, bisa dibilang mengawali hidup dengan mengakrabi kawasan kelam kotanya. Selain mencopet, dia juga mencuri perhiasan mayat di kuburan Belanda kawasan THR Yogyakarta, berjudi cliwik, main kartu, serta punya hobi melacur di rel kereta api. Banyak kisah tentang masa remaja Jemek yang kelam ketika dia sama sekali belum mengenal kesenian. Kira-kira waktu itu umurnya belum genap 20 tahun. Melalui sebuah tulisannya, Romo Sindhunata mengisahkan, pernah Jemek berupaya mencuri galundheng (roti goreng) di Pasar Bringharjo. Galundheng itu dibungkus dalam plastik. Tiap plastik berisi dua belas buah. Menurut teknik ngutil, untuk tindakan itu ia seharusnya mengambil bungkusan plastik yang paling atas. Entah terburu nafsu atau memang karena kebodohannya, Jemek justru mengambil bungkusan yang paling bawah. Akibatnya tumpukan galundheng pun runtuh menggelundung. Pemiliknya jadi tahu, lalu mengejar Jemek. Untungnya dia gesit---dan karena itu dijuluki Pardi Kampret---maka Jemek bisa menyelamatkan diri. Masih bersumber dari tulisan Sindhunata, Jemek mengawali mencuri perhiasan mayat sejak ada pembongkaran kuburan Belanda di kawasan THR Yogyakarta, kira-kira pada pertengahan tahun 1960-an, untuk dijadikan terminal. Siang hari ia menyaksikan bagaimana kuburan-kuburan itu digali. Malam hari ia pergi ke sana lagi untuk melakukan operasi. Di bongkarnya satu persatu peti mati yang tersisa. Di dalamnya ia menemukan barang-barang berharga yang bercampur dengan kerangka mayat manusia. Barang-barang itu diperhitungkan sebagai barang antik dari Nederland dan dijualnya pada sindikat penampungan barang-barang antik yang berasal dari kuburan. Lama ia melakukan pekerjaan horor itu. "Teman saya, sesama pencuri, banyak yang jatuh sakit. Katanya, roh-roh marah pada mereka. Saya sendiri sehat-sehat saja," kata Jemek seperti yang dikutip dalam tulisan Sindhunata. Ada lagi kisah bagaimana Jemek memanfaatkan kuburan. Di kuburan tempat ia beroperasi ada sebuah makam. Kata orang, di makam itu disemayamkan seorang Belanda bernama Tuan Joni. Makam Tuan Joni dianggap keramat dan bertuah. Padahal, kata Jemek, sudah tak ada lagi jasad Tuan Joni di dalamnya. Tiap malam Jumat Kliwon, ada seorang pengusaha Cina yang selalu berziarah ke makam itu. Diantar oleh Pak Darno, juru kunci makam, pengusaha kaya itu meletakkan sesajen yang disukai Tuan Joni semasa hidupnya. Di samping kemenyan dan bunga setaman juga ada buah-buahan, wiski dan cerutu. Jemek melihat, setelah mengantar pengusaha itu pulang, Pak Darno mengambil lagi sesajen itu. Ia tak mau ketinggalan untuk menikmati rezeki. Maka setiap malam Jumat Kliwon, ia bersembunyi di atas pohon beringin sebelum Pak Darno dan pengusaha itu datang. Begitu Pak Darno mengantar pengusaha itu pulang, Jemek turun dari persembunyiannya, lalu meraup sesajen. Pak Darno heran bercampur takut, jangan-jangan ada makhluk halus yang mengambil sesajen itu. Kejadian ini berlangsung sampai tiga kali hingga akhirnya Pak Darno menemukan bahwa Jemeklah malingnya. Tapi Pak Darno tak mempunyai alasan untuk marah. Sebab, kata Jemek, ia telah membohongi pengusaha itu. Bagaimana mungkin orang bisa memberi sesajen pada Tuan Joni, padahal di makam itu sudah tidak ada jasadnya lagi? Akhirnya, tercapailah kompromi. Tiap kali ada sesajen untuk Tuan Joni, sesajen itu harus dibagi. Begitulah, tiap malam Jumat Kliwon, Jemek selalu mendapatkan jatahnya---kadang wiski, kadang cerutu---tanpa bersusah payah lagi dengan terlebih dahulu menjadi "hantu". Ada lagi cerita, betapa Jemek benar-benar licik seperti kampret. Di daerah operasinya ada seorang wanita penghibur yang dikenal ulet dan kuat. Teman-teman Jemek mengajaknya berkencan dan setelah itu mencoba menipunya agar tidak perlu membayar. Ternyata gagal, padahal mereka terkenal jago dalam menggratiskan diri terhadap setiap pelacur yang dikencaninya. Jemek penasaran, ia pasti bisa mengakali wanita itu. Suatu malam, dibawanya wanita itu ke emperan sebuah sekolahan. Setelah mengencaninya, Jemek tidak langsung membayar. Ia bilang, mau membersihkan diri di sumur terlebih dahulu. Wanita itu ternyata tidak melepaskannya. Sementara Jemek menimba air, wanita itu merangkulnya kencang-kencang biar Jemek tidak bisa lari darinya. Jemek tidak kehilangan akal. Ember timba belum sampai ke atas, ia bilang, "Sebentar, saya mau menyingsingkan celana saya," katanya. Si wanita terpaksa memegangi tali timba, dan dengan demikian lepaslah rangkulannya. Jemek tidak menaikkan celananya, tapi terus melambaikan tangannya sambil bilang, "Wis ya (Sudah ya)", sembari berlari. Karena takut ketahuan orang atau penjaga sekolahan, wanita itu tidak berani berteriak. Sementara bila tali timba dilepas demi mengejar Jemek, di dasar sumur akan timbul suara berdebum keras dan orang akan ribut karenanya. Maka dengan hati geram, ia terpaksa terus menimba, sambil melihat Jemek---yang betul-betul kampret itu---pergi meninggalkannya. Adapun petualangan Jemek di dunia gelap kira-kira berhenti pada pertengahan tahun 1970-an. Hawa Kota Yogyakarta sebagai kota seni yang dinamis agaknya turut membantu terhadap ‘pertobatan’ Jemek. Tak lain berawal dari seringnya Jemek melihat seniman-seniman seperti Ashadi Siregar, Landung Simatupang, WS Rendra, Emha Ainun Najib, Adi Kurdi, dan Linus Suryadi Agustinus yang kerap nongkrong di Malioboro. Tentu saja Jemek awalnya belum tahu kalau mereka itu adalah seniman yang sebenarnya sejak itu sudah ngetop di pentas nasional. Melihat potongannya yang gondrong dan urakan, bahkan awalnya Jemek mengira bahwa mereka itu adalah bajingan yang lebih berbahaya darinya dan harus diwaspadai. Tapi setelah tahu mereka adalah seniman yang sebagian besar berasal dari Komunitas Bengkel Teater Rendra, Jemek muda yang ketika usianya menginjak 25 tahun mulai tertarik. Sikap seniman yang egaliter dan terbuka terhadap orang pinggiran menjadi ruang baru bagi Jemek. Ia pun mulai mengagumi sejumlah tokoh-tokoh Bengkel Teater Yogyakarta pada waktu itu, seperti Suharno dan Ketib Suratmo selain nama-nama yang telah disebut di atas tadi. Sejak itulah Jemek menggeluti Teater. Dalam perjalanannya dia bergabung di sejumlah kelompok, seperti Teater Alam, Teater Dinasty, dan Teater Boneka. Namun Jemek bukanlah tipe seniman teater yang kuat menghafal naskah. Maklumlah secara akademis dia tergolong bodoh. Tercatat dia lulus SD setelah tak naik kelas sebanyak tiga kali serta tamat SMP setelah tujuh kali ganti sekolah. Jemek sendiri sebenarnya pernah mencoba menyalurkan minatnya pada dunia seni setelah tamat SMP dengan masuk ke Sekolah Menengah Seni Rupa Indonesia. Tapi berhubung otaknya blong, ia hanya bertahan selama dua bulan. Jelas, dengan perjalanan akademis yang kacau seperti itu, maka jenis teater yang bersandar pada dialog tidak cocok untuknya. Jemek pun selalu kebagian peran figuran yang tak perlu dialog. Namun, dari sinilah dia mengembangkan seni peran yang belakangan diketahuinya sebagai pantomim. Bakat pantomimnya mulai ditemukan ketika ia ikut dalam pementasan Maling Kundang. Waktu itu ia menjadi figuran yang memerankan gerak-gerak air. Dari pementasan itu Jemak mengaku benar-benar menikmati menjadi air dan memahami filsafat air. Hidup ini memang harus seperti air, cair, lincah, mengalir ke mana ia diperlukan," katanya. Sejak itu dia mulai menekuni Pantomim. Dari sekadar berpantomim pendek mengisi beberapa acara, akhirnya Jemek pentas tunggal pada 1979 di Seni Sono, Yogyakarta. Lalu puluhan karya lahir dan pantomim menjadi nadi hidupnya. Khas Jemek hingga sekarang ialah selalu berupaya memberangkatkan pantomimnya dari pengalaman hidupnya sehari-hari. Pun masa lalunya yang keras dan kelam tidak mematikan kreativitasnya, tapi justru sebaliknya, sehingga dapat menghasilkan karya-karya kreatif yang lekat dengan pengalaman pribadinya. (Hanif Nashrullah/ Foto: Kompas; Raditya Helabumi--- dikumpulkan untuk memenuhi tugas akhir semester (1) mata kuliah Sejarah Pertunjukan Indonesia, Program Studi S-1, jurusan Seni Teater, Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta Surabaya)

Monday, January 26, 2009

'Grassroots Spirit' Wayang Suket Gundono

Di saat ramai-ramainya tanggapan manggung pakeliran wayang kulit, Dalang (Ki) Slamet Gundono justru memilih pindah media ke Wayang Suket. - Nama asli pemberian orang tuanya sejak lahir sebenarnya cuma Gundono. Lahir di Slawi, Tegal, 19 Juni 1966, kedua orang tuanya hanyalah petani biasa. Adapun ‘Slamet’ adalah julukan pemberian gurunya semasa duduk di bangku Sekolah Dasar. Julukan itu hingga kini justru terus melekat dan dipakai terus sebagai nama depannya. Kabarnya dia pun telah merubah identitas nama panjangnya itu pula di akte kelahirannya. Kendati tak satupun dari keluarganya yang berdarah seni, ketertarikan pada dunia pedalangan diakuinya sudah dirasakan sejak masa kanak-kanak. Namun begitu, Gundono kecil banyak menghabiskan waktu sambil mengenyam pendidikan di pesantren hingga tingkat Madrasah Aliyah. Barulah setelah itu dia serius menekuni seni pedalangan dengan melanjutkan sekolah di jurusan Seni Pedalangan, Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Surakarta (lulus tahun 1999). Pada awalnya, sejak itu, dia dikenal sebagai dalang wayang kulit. Suatu ketika, tahun 1997, di Riau, pada sebuah tempat yang sama sekali tidak mengenal wayang kulit dan gamelan, tiba-tiba dia diminta mementaskan sebuah wayang. Seketika itulah dia teringat masa kecil di desanya yang sering bermain-main di sawah dan tiap hari melihat suket. Sering dia melihat para petani ketika sedang bersantai sambil menganyam bagian batang jenis rumput menyerupai model wayang untuk mengisi waktu. Terinspirasi dari itu, akhirnya dia memutuskan untuk memainkan wayang memakai suket di sana; dia bentuk, ikat, dan gulung menjadi beragam bentuk yang kemudian ia mainkan. Gamelannya pakai mulut, ala kadarnya dengan lakon “Kelingan Lamun Kelangan”. Itulah pertunjukkan wayang suket pertamanya. Tidak selesai sampai di situ, sepulang dari Riau, pengalamannya itu dia bawa pulang. Slamet Gundono pun mengumpulkan beberapa teman dan membentuk Komunitas Wayang Suket yang kemudian ia pakai sebagai nama Padepokan Komunitas Wayang Suket, di Ngringo, Jaten, Karanganyar, Jawa Tengah. Tak di sangka, seiring dengan berjalannya waktu, pentas wayang suketnya ini ternyata mengundang banyak peminat. Tak hanya ditanggap di berbagai kota di tanah air, tapi juga membuatnya melanglang buana ke manca negara. Slamet Gundono pun menjadi sosok seniman fenomenal. Ditambah, ketika tampil di panggung, dia tidak menggunakan baju beskap, blangkon, dan keris di pinggang sebagaimana kaidah-kaidah seni pedalangan tradisional. Dengan postur tubuhnya yang tambun seberat 150 Kg itu dia justru memilih tampil dengan pakaian setengah telanjang, berkalungkan alat musik gitar ukulele berwarna hijau, membuatnya tampak nyentrik. Media pementasannya pun tidak menggunakan wayang, kecuali untuk gunungan atau beberapa tokoh. Malah kadang ia menggunakan buah-buahan hasil kebun; seperti cabe, mentimun, tomat, bawang merah, dan lain-lain yang tertancap di batang pisang yang diusungnya di atas panggung. Durasi pementasannya pun fleksibel, pernah hanya 15 menit, pernah satu jam, pernah juga tiga jam. Pernah pentas dengan tiga orang, pernah pula pentas dengan 30. Begitu juga dengan iringan musiknya, ia hanya membawa satu atau dua jenis perangkat gamelan, bambu, ditambah gitar ukulele itu tadi untuk berimprovisasi. Seringkali juga dia ‘bermain’ musik dengan mulutnya. Yang jelas, Slamet Gundono mengemas Wayang Suket secara apik dan unik sebagai kreasi baru dunia pewayangan. Cerita yang diangkatnya pun tak sekadar cerita-cerita klasik yang bersumber dari kitab Mahabarata, Ramayana, kisah Panji, atau kisah Menak, tapi sudah berkolaborasi dengan sumber cerita keseharian yang lagi menjadi sorotan. Seringkali dia menyandingkan tokoh-tokoh wayang yang biasa dikenal dengan tokoh yang dicomot dari dunia keseharian sang dalang, semuanya berbalut kritik sampai joke-joke yang membuat penonton terpingkal-pingkal. Intinya, dia berpijak pada seni tradisi dalam mengupas persoalan pada masa kekinian. Biasanya, seusai pentas banyak penonton yang berebutan wayang suket untuk dibawa pulang dan dipajang di rumahnya masing-masing. Dari pengalaman beberapa tahun memopulerkan wayang suket, Slamet Gundono menandai orang-orang yang mengundang wayang suket tidak sekadar nanggap. Dia menangkap romantisme kuat pada mereka, yakni romantisme masyarakat agraris. Itu ada di ruang bawah sadar orang-orang kota. Tak hanya orang-orang asal Jawa yang antusias. Penonton di Berlin, Jerman, pun memberikan antusiasme serupa. Terlepas dari itu, Slamet Gundono terbilang sukses telah membuat Wayang Suket menjadi sebuah media seni teater berbasis kesenian tradisional wayang. Kelebihannya terletak pada ruang yang sangat bebas bagi penonton untuk membangun imajinasinya lewat wayang suket itu, menafsir kembali siapa itu wayang-wayang sebagai bayangan hidup. Ibaratnya manusia terus tumbuh tapi wayang kulit tidak. Werkudoro yang sedang sakit, misalnya, akan tetap membusung gagah, menangis pun tetap membusung gagah. Di satu sisi, ini menunjukkan wayang kulit sudah terlalu puncak, sudah selesai sebagai sebuah perjalanan estetika. Sudah stagnan untuk memberi ruang bebas. Sehingga akhirnya muncul eksperimen-eksperimen vulgar dan Slamet Gundono tampaknya memutuskan memilih suket untuk memulainya. Satu hal lainnya, bagi Gundono, filosofi suket sebagai sesuatu yang terus tumbuh adalah spirit yang membuatnya bangga. Suket hanya butuh air dan sinar matahari. Kekuatan filosofi inilah yang menggambarkan kekuatan ruang imajinasi dari wayang suket. Pertunjukkannya itu sendiri merupakan simbol grassroots. (Hanif Nashrullah/ Foto: www.gamelan.org.nz---dikumpulkan untuk memenuhi tugas tengah semester (1) mata kuliah Sejarah Pertunjukan Indonesia, Program Studi S-1, jurusan Teater, Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta Surabaya)

Wednesday, January 21, 2009

Obamafest

Barack Hussein Obama, dini hari tadi (21/1), atau Selasa siang waktu setempat, akhirnya dilantik menjadi Presiden Amerika Serikat ke- 44. Ratusan ribu orang memadati kota Washington DC untuk menyaksikan peristiwa bersejarah ini. Kantor berita AFP melaporkan, sekitar 318.422 orang dari luar kota berdatangan melalui terminal Subway Washington DC sejak Selasa pagi demi mengikuti jalannya inaugurasi presiden berkulit hitam pertama Amerika Serikat ini. Memang ada banyak acara pesta bagi warga di hari inaugurasi Presiden Barack Obama ini. Janet Esteele, dosen Ilmu Komunikasi di salah satu universitas di Washington DC, dalam tuilsan kolomnya di Harian Surya (19/1), memaparkan, selain beberapa pesta yang memang telah diagendakan oleh pemerintah bagi para undangan, juga terdapat pesta-pesta tidak resmi lainnya yang digelar sendiri oleh inisiatif sebagian warga di setiap sudut jalanan Kota Washington. Untuk keperluan perayaan pesta-pesta tersebut, menurut Janet, seluruh hotel di Washington sudah dibooking habis bahkan sejak jauh hari oleh orang-orang dari luar kota yang ingin turut merayakannya. Keberhasilan Barack Obama dari Partai Demokrat dalam memenangi Pemilu Presiden Amerika Serikat (AS) pada 5 November 2008 lalu itu memang seakan tiada habisnya dirayakan. Tak hanya oleh pendukungnya di dalam negeri, tapi juga di seluruh dunia. Di Kenya, tempat Obama dilahirkan, malah langsung menetapkan hari terpilihnya itu sebagai hari libur nasional. Di negara-negara Eropa, suasana perayaannya digambarkan seperti Octoberfest; ada musik dan semua orang bergembira. Sebut saja yang ini Obamafest dan ternyata suasana seperti ini juga bisa dirasakan di Indonesia. Maklumlah, sang Presiden pernah bersekolah di SDN Menteng 1 Jakarta. Seluruh ‘Civitas Akademika’ di sekolah itu pun turut merayakan keberhasilan salah satu bekas siswanya yang terpilih jadi presiden di negeri adidaya itu. AFP melaporkan (5/11), mantan teman-teman sekelas ‘Barry’, sapaan akrab Barack Obama semasa bersekolah di SDN Menteng 1, turut merayakan keberhasilannya ini dan berharap suatu saat nanti bisa mengadakan reuni di Gedung Putih, Washington DC. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga diberitakan turut berbangga atas kemenangan ‘Anak Menteng’ yang satu ini dan berharap bisa turut memberikan perubahan bagi Bangsa Indonesia. Ya, ‘perubahan’! Itulah slogan kampanye Obama yang mengantarkannya melangkah ke Gedung Putih. Lengkapnya ‘Change, Yes It Can’! Bukan ‘Coblos Brengose’, ‘Coblos Jenggot Putih’, ataupun semacam tema-tema kampanye narsis dan kampungan lainnya seperti yang selama ini marak bertebaran di jalan-jalan raya pada musim Pemilu atau Pilkada di tanah air. Tema ‘perubahan’ yang ditawarkan Obama inilah yang berhasil menarik simpati sebagian besar warga AS yang ternyata juga memimpikan perubahan. Atas tema ini pula Obama kemudian juga digadang-gadang oleh masyarakat Internasional sebagai sosok yang diharapkan bisa mengubah citra AS yang selama ini dipandang buruk. Terlepas dari itu semua, yang jelas, kemenangan Obama dalam meraih kursi Presiden AS telah memberi suatu semangat bagi warga dunia, termasuk Indonesia. Minimal, mendekati Pemilu 2009, terbukti telah banyak dijumpai politikus muda yang sudah mulai meniru gaya-gaya Obama. Bahkan, Ilham Anas, seorang fotografer asal Jakarta yang sebelumnya tidak pernah dikenal, meski dia bukan politisi, namanya ikut melambung hanya gara-gara wajahnya mirip Barack Obama. Itu sah-sah saja. Tapi, yang terpenting, jangan terlalu larut dengan prestasi yang baru saja diraih Obama. Sekadar ikut berbangga boleh saja dan hendaknya jangan terlalu banyak berharap sesuatu yang terlalu signifikan dari kemenangan Obama ini, khususnya terkait dengan hubungan bilateral Indonesia - Amerika Serikat. Terlebih Obama pasti akan disibukkan oleh urusan negaranya sendiri yang sedang dilanda krisis moneter sebagaimana diungkapkan dalam pidatonya seusai disumpah sebagai Presiden Amerika Serikat dalam prosesi inaugurasi dini hari tadi. Hal ini juga dimaksudkan agar kita tidak terlalu kecewa seandainya selama Barack Obama memimpin dunia dan ternyata Indonesia masih tetap didikte oleh Amerika Serikat. Maka sebaiknya Indonesia jangan terlalu banyak berharap pada orang lain. Percaya diri sajalah dan banyak-banyak berbenah diri demi terwujudnya perubahan di negeri Indonesia yang tercinta ini! (Hanif Nashrullah/ Foto: Reuters via Yahoo)

Tuesday, January 20, 2009

Makna Proklamasi RI dan Pancasila dalam Pembukaan UUD 1945

“Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia. Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain diselenggarakan dengan cara saksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.” (Proklamasi RI, 17 Agustus 1945) - Proklamasi merupakan semacam sebuah pernyataan bahwa negara Indonesia berdaulat penuh dan merdeka. Sebagai sebuah negara yang berdaulat penuh, maka Indonesia perlu punya Undang-Undang Dasar (seperti AD/ART kalau di organisasi), yang belakangan disepakati sebagai UUD 1945. Karena UUD 1945 merupakan sebuah tatanan dasar sebuah Negara, maka perlu dibuatkan sebuah pengantar Undang Undang yang disebut Pembukaan UUD 1945. Pembukaan UUD 1945 ini tak lain didasari oleh Pancasila sebagai Pedoman Negara. Dalam sejarahnya, sidang BPUPKI memang membahas dasar filsafat Pancasila terlebih dahulu sebelum kemudian membahas Pembukaan UUD 1945. Tampaknya pendiri Negara Indonesia menganggap penting perumusan dasar negara untuk dibahas terlebih dahulu karena memang suatu Negara yang akan dibentuk harus memiliki dulu dasar ideologinya. Pada saat itu sebenarnya sudah ada ideologi komunis dan liberal. Ternyata bangsa Indonesia menginginkan dasar negara yang sesuai dengan pandangan hidup bangsa Indonesia sendiri. Dasar Negara tersebut mendapatkan suatu legalitasnya dalam Piagam Jakarta yang kemudian menjadi Pembukaan UUD 1945. Dengan masuknya rumusan Pancasila dalam Pembukaan UUD, maka ia menjadi inti dari Pembukaan UUD 1945 dan kedudukan Pembukaan UUD 1945 menjadi kuat. Apalagi dari Penjelasan UUD 1945 dikatakan kalau Pembukaan itu memiliki empat pokok pikiran dan ternyata keempat pokok pikiran dalam Pembukaan UUD 1945 itu tak lain adalah Pancasila. Pancasila sebagai dasar negara Indonesia adalah seperti yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945; bahwa Pembukaan UUD 1945 berkedudukan dan berfungsi selain sebagai Mukadimah UUD 1945 juga sebagai suatu yang bereksistensi sendiri karena Pembukaan UUD 1945 yang intinya Pancasila tidak tergantung pada batang tubuh UUD 1945. Bahkan sebagai sumbernya; bahwa Pancasila sebagai inti Pembukaan UUD 1945 dengan demikian mempunyai kedudukan yang kuat, tetap, tidak dapat diubah dan terlekat pada kelangsungan hidup Negara RI. ***** “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan. Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Atas berkat rahmat Allah Yang Mahakuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya. Kemudian daripada itu, untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-undang Dasar Negara Indonesia, yang berbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada : “Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dan permusyawaratan/ perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.” ***** Demikianlah, dalam kutipan Pembukaan UUD 1945 di atas, ternyata sekaligus pula tertuang dengan jelas isi Proklamasi dan Pancasila. Alangkah sempurnanya. Pembukaan UUD 1945 sekaligus melukiskan pandangan, tujuan, falsafah dan pegangan hidup bangsa Indonesia dengan jelas seperti juga yang tertuang dalam naskah proklamasi dan pancasila. Pada akhirnya, antara naskah Proklamasi, Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 merupakan satu bagian yang tak dapat dipisahkan antara satu dan yang lain. Dengan begitu, ketika bangsa lain hanya memiliki masing-masing satu proclamation of independence dan declaration of independence, maka bangsa Indonesia memiliki keduanya sekaligus dalam satu, seperti yang tertuang dalam pembukaan UUD 1945, yang intinya menyerukan kepada seluruh dunia bahwa rakyat Indonesia telah menjadi satu bangsa yang merdeka. Oleh karena itu, Pembukaan UUD 1945 memiliki kedudukan yang sangat penting bagi kelangsungan hidup bangsa Indonesia. Terlebih karena terlekat pada proklamasi 17 Agustus 1945 dan Pancasila sebagai pedoman negara, sehingga tidak bisa dirubah baik secara formal maupun material. Secara hakiki, Pembukaaan UUD 1945 memiliki kedudukan sebagai pernyataan kemerdekaan yang terperinci, mengandung dasar, rangka dan suasana bagi negara dan tertib hukum Indonesia, serta mengandung adanya pengakuan terhadap hukum kodrat, hukum Tuhan dan adanya hukum etis atau hukum moral. Penjelasan UUD 1945 yang merupakan bagian dari keseluruhan UUD 1945 menyatakan bahwa Pembukaan UUD 1945 mengandung empat pokok pikiran, yaitu: (1) bahwa Negara Indonesia adalah negara yang melindungi dan meliputi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, serta mencakupi segala paham golongan dan paham perseorangan; (2) bahwa Negara Indonesia hendak mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh warganya; (3) bahwa Negara Indonesia menganut paham kedaulatan rakyat. Negara dibentuk dan diselenggarakan berdasarkan kedaulatan rakyat; dan (4) bahwa Negara Indonesia adalah negara yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab. Juga dinyatakan bahwa “Pokok-pokok pikiran tersebut meliputi suasana kebatinan dari Undang-Undang Dasar Negara Indonesia. Pokok-pokok pikiran ini mewujudkan cita-cita hukum (rechtsidee) yang menguasai hukum dasar negara, baik hukum yang tertulis (Undang-Undang Dasar) maupun hukum yang tidak tertulis. Undang-Undang Dasar menciptakan pokok-pokok pikiran ini dalam pasal-pasalnya”. Seiring dengan dinamika ketatanegaraan, sekarang ini pokok-pokok pikiran Pembukaan UUD 1945 yang dimuat dalam Penjelasan UUD 1945 telah mengalami perubahan sebagai agenda utama era reformasi yang mulai dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada tahun 1999 dan telah menghilangkan penjelasan ini. Namun pada Sidang Tahunan MPR 1999, seluruh fraksi di MPR membuat kesepakatan tentang arah perubahan UUD 1945, yaitu: sepakat untuk tidak mengubah Pembukaan UUD 1945, selain juga mempertahankan bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia, mempertahankan sistem presidensiil (dalam pengertian sekaligus menyempurnakan agar betul-betul memenuhi ciri-ciri umum sistem presidensiil), memindahkan hal-hal normatif yang ada dalam Penjelasan UUD 1945 ke dalam pasal-pasal UUD 1945 dan menempuh cara adendum dalam melakukan amandemen terhadap UUD 1945. Kesepakatan tersebut dilampirkan dalam Ketetapan MPR No. IX/MPR/1999 tentang Penugasan Badan Pekerja Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia untuk melanjutkan Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. (Hanif Nashrullah/ Foto: Wikipedia.com---dikumpulkan untuk memenuhi tugas akhir semester (1) mata kuliah Pancasila, Program Studi S-1, jurusan Seni Teater, Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta Surabaya)

Monday, January 19, 2009

PEMERANAN: Sebuah Pengantar bagi Aktor dan Aktris

Studi tentang pemeranan merupakan hal yang mutlak yang harus dikuasai oleh seorang aktor (dan aktris). Di sekolah-sekolah/ kampus seni jurusan teater, bahkan di seluruh dunia, program studi pemeranan menjadi salah satu mata kuliah yang ‘wajib hukumnya’. Studi tentang keaktoran ini tak lain meliputi materi-materi yang harus dikuasai oleh seorang aktor. 90% dari studi ini adalah praktek. Memang, tak ada kata lain bagi seorang aktor selain: “kerja (latihan), kerja, dan kerja!". Kebanyakan yang diajarkan dalam program studi pemeranan tak lebih di sekitar olah tubuh, gerak, vokal dan sukma. Di negara-negara maju seperti di kawasan Eropa, misalnya, item-item yang diajarkan dalam program studi pemeranan selama satu semester meliputi: (1) Teori Teater, merupakan pelajaran yang berisikan tentang sejarah dan perkembangan teater, teori-teori serta pandangan tokoh-tokoh teater dunia. Segala hal yang menyangkut teori, diajarkan dalam pelajaran ini. Bisa jadi inilah satu-satunya pelajaran teori yang diberikan dalam program studi pemeranan; (2) Teknik Tari, dalam pelajaran ini siswa dilatih untuk melakukan dan menemukan teknik-teknik dasar menari. Beragam teknik diberikan mulai dari dasar hingga samapai rangkaian gerak; (3) Dasar-dasar Menari, merupakan kelanjutan dari dasar tari, di mana siswa dilatih untuk menari dalam gaya atau bentuk tarian tertentu. Jenis tarian yang diajarkan tentu saja tarian yang populer sehingga lebih bisa mengena dan dapat digunakan (diaplikasikan) dalam pertunjukan teater; (4) Ritmik Dasar, merupakan pelajaran seni musik dasar yang memberikan keterampilan kepada siswa untuk dapat membaca not dan melagukannya dengan diiringi piano. Akhir dari pelajaran ini adalah menyanyi. Jadi menyanyi juga merupakan satu hal yang harus dilatihkan kepada aktor; (5) Interpretasi Syair, merupakan kelanjutan dari pelajaran Ritmik Dasar. Tujuannya adalah agar sang penyanyi dapat mengahayati lagu yang dinyanyikan, maka interpretasi syair lagu harus dipahami sebaik mungkin; (6) Akrobat, pelajaran ini menyangkut ketahanan fisik dan kemampuan tubuh melakukan atraksi. Tidak saja kelenturan tetapi beragam gaya dan aksi dapat dilakukan oleh aktor dengan media tubuhnya. Kira-kira inti pelajaran akrobat dalam program studi pemeranan seperti itu; (7) Bela Diri, seni beladiri yang diajarkan adalah Anggar dan toya. Dasar-dasar bermain anggar diajarkan hingga sampai koreografi perkelahian kelompok dengan menggunakan senjata pedang. Demikian juga dengan piranti toya, mulai dari toya pendek hingga toya panjang dan juga koreografi kelompok dilatihkan di sini; (8) Teknik Olah Tubuh, di masing-masing negara, teknik yang dipakai beragam. Di Jerman, misalnya, menggunakan teknik Feldenkrais, yang merupakan teknik olah tubuh yang ditemukan oleh Mose Feldenkrais. Teknik olah tubuh lainnya yang lazim digunakan di Amerika adalah teknik Alexander. Teknik ini menggabungkan olah logika dan olah tubuh. Dalam pelajarannya, tubuh dikendalikan oleh pikiran dan pikiran memikirkan keberadaan tubuh sedetil mungkin. Segala jenis gerak ketidakbiasaan juga dilatihkan. Misalnya, bagaimana memaksimalkan tangan kiri seperti halnya tangan kanan, dan lain sebagainya. Ada juga teknik tentang olah tubuh lainnya dari Stanilovsky, yang lebih menjurus ke acting. Ada pula ajaran teknik dari Brotowsky yang lebih mengajarkan gerak sebagai simbol-simbol; (9) Tubuh dan Suara, pelajaran dasar olah vokal yang dikombinsaikan dengan olah tubuh dalam sebuah permainan. Koordinasi antara pikiran, gerak tubuh dan suara dilatihkan dalam game-game yang menarik; (10) Olah Suara, pelajaran khusus olah suara yang mengksplorasi ragam jenis suara dan kemungkinan-kemungkinan rangkaian suara yang dapat diproduksi melalui pita suara serta disesuaikan dengan nada-nada musik. Gerak-gerak dasar juga dilakukan dalam mengeksplorasi suara. Demikian juga ketika suara harus menyesuaikan dengan nada musik maka gerak tubuh harus mengikuti irama yang dimainkan; (11) Wicara, pelajaran khusus dialog di mana siswa dilatih berbicara mulai dari tahap pernafasan hingga sampai mengucapkan rangkaian kalimat. Pelajaran ini sangat detil karena setiap penggal kata, jeda, pelafalan, intonasi, diksi dan semua problem berbicara diperhatikan dan dipelajari; (12) Fragmen, dalam pelajaran ini semua siswa dapat mengaplikasikan beragam teknik yang telah didapati dalam seluruh mata pelajaran yg telah diikuti. Fragmen dimulai dari pencarian karakter hingga sampai memainkannya, baik secara improvisasi ataupun dengan menggunakan naskah. Adapun tahap akhir dari pelajaran ini adalah memainkan naskah secara penuh/ fullplay yang sekaligus sebagai ujian akhir dalam menempuh studi ini. Dari keseluruhan item-item dalam program studi pemeranan seperti yang terpapar di atas, ternyata itu semua adalah pengembangan dari olah tubuh, gerak, vokal dan sukma. Selebihnya adalah penggalian yang pada akhirnya menjadi bagian-bagian (cabang-cabang) yang lebih detil, teliti dan cermat. Memang, masih banyak sebagian aktor di Indonesia yang masih terjebak dalam pola pembelajaran tentang studi pemeranan yang diwariskan secara turun temurun dari para seniman pendahulunya tanpa mau menguak lagi apa sesungguhnya yang perlu dikuasai (dipelajari) oleh seorang aktor – di mana masih berkutat pada soal olah tubuh, gerak, vokal dan sukma itu tadi. Sehingga masih banyak ditemui aktor-aktor yang tidak bisa menyanyi ataupun menari di negeri ini. Celakanya banyak kalangan yang mengakui mereka sebagai aktor. Pendeknya, ternyata para aktor di tanah air, para pemula khususnya, masih perlu lebih banyak belajar lagi tentang studi pemeranan. Sebab bisa jadi item-item tentang studi pemeranan seperti yang dipaparkan di atas kedepannya bisa berkembang lebih luas lagi. Terlepas dari itu semua, yang terpenting bagi seorang aktor adalah terus bekerja, kerja dan kerja! (Naskah & Foto: Hanif Nashrullah---dikumpulkan untuk memenuhi tugas akhir semester (1) mata kuliah Pemeranan, Program Studi S-1, jurusan Seni Teater, Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta Surabaya)

Sunday, January 18, 2009

Bengkel Muda Mencari Aktor dan Aktris

Kelompok Teater Bengkel Muda Surabaya (BMS) membuka kesempatan bagi generasi muda untuk bergabung menjadi anggota. Syaratnya minimal lulus SMA/ sederajat atau sedang kuliah. Sudah bekerja juga tidak masalah. Formulir pendaftaran bisa langsung diambil di sekretariat BMS, Kompleks Balai Pemuda, Jl. Gubernur Suryo 15 Surabaya, dengan menghubungi Sdr. Ipung, Nuri atau Hanif, sebelum tanggal 27 Januari. Besar kemungkinan pendaftaran akan langsung ditutup jika peminat telah memenuhi kuota sebelum masa tenggat pendaftaran berakhir. Para calon anggota baru itu akan langsung dididik menjadi seorang aktor/ aktris selama tiga bulan, mulai awal Februari hingga April, dengan intensitas setiap dua kali seminggu. Saat ini BMS sedang masa jeda setelah melakukan proses panjang produksi lakon 'Pesta Pencuri', naskah Perancis, karya Jean Anouilh, yang diadaptasi dan disutradarai oleh Zainuri, dan telah ditampilkan di 10 kota besar di Pulau Jawa selama 2007 - 2008. Penerimaan calon anggota baru ini dibuka sebagai salah satu persiapan untuk menyongsong produksi baru Teater BMS yang rencananya akan mulai inten digarap pada pertengahan 2009 mendatang. (Naskah & Foto: Hanif Nashrullah)