Monday, January 26, 2009

'Grassroots Spirit' Wayang Suket Gundono

Di saat ramai-ramainya tanggapan manggung pakeliran wayang kulit, Dalang (Ki) Slamet Gundono justru memilih pindah media ke Wayang Suket. - Nama asli pemberian orang tuanya sejak lahir sebenarnya cuma Gundono. Lahir di Slawi, Tegal, 19 Juni 1966, kedua orang tuanya hanyalah petani biasa. Adapun ‘Slamet’ adalah julukan pemberian gurunya semasa duduk di bangku Sekolah Dasar. Julukan itu hingga kini justru terus melekat dan dipakai terus sebagai nama depannya. Kabarnya dia pun telah merubah identitas nama panjangnya itu pula di akte kelahirannya. Kendati tak satupun dari keluarganya yang berdarah seni, ketertarikan pada dunia pedalangan diakuinya sudah dirasakan sejak masa kanak-kanak. Namun begitu, Gundono kecil banyak menghabiskan waktu sambil mengenyam pendidikan di pesantren hingga tingkat Madrasah Aliyah. Barulah setelah itu dia serius menekuni seni pedalangan dengan melanjutkan sekolah di jurusan Seni Pedalangan, Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Surakarta (lulus tahun 1999). Pada awalnya, sejak itu, dia dikenal sebagai dalang wayang kulit. Suatu ketika, tahun 1997, di Riau, pada sebuah tempat yang sama sekali tidak mengenal wayang kulit dan gamelan, tiba-tiba dia diminta mementaskan sebuah wayang. Seketika itulah dia teringat masa kecil di desanya yang sering bermain-main di sawah dan tiap hari melihat suket. Sering dia melihat para petani ketika sedang bersantai sambil menganyam bagian batang jenis rumput menyerupai model wayang untuk mengisi waktu. Terinspirasi dari itu, akhirnya dia memutuskan untuk memainkan wayang memakai suket di sana; dia bentuk, ikat, dan gulung menjadi beragam bentuk yang kemudian ia mainkan. Gamelannya pakai mulut, ala kadarnya dengan lakon “Kelingan Lamun Kelangan”. Itulah pertunjukkan wayang suket pertamanya. Tidak selesai sampai di situ, sepulang dari Riau, pengalamannya itu dia bawa pulang. Slamet Gundono pun mengumpulkan beberapa teman dan membentuk Komunitas Wayang Suket yang kemudian ia pakai sebagai nama Padepokan Komunitas Wayang Suket, di Ngringo, Jaten, Karanganyar, Jawa Tengah. Tak di sangka, seiring dengan berjalannya waktu, pentas wayang suketnya ini ternyata mengundang banyak peminat. Tak hanya ditanggap di berbagai kota di tanah air, tapi juga membuatnya melanglang buana ke manca negara. Slamet Gundono pun menjadi sosok seniman fenomenal. Ditambah, ketika tampil di panggung, dia tidak menggunakan baju beskap, blangkon, dan keris di pinggang sebagaimana kaidah-kaidah seni pedalangan tradisional. Dengan postur tubuhnya yang tambun seberat 150 Kg itu dia justru memilih tampil dengan pakaian setengah telanjang, berkalungkan alat musik gitar ukulele berwarna hijau, membuatnya tampak nyentrik. Media pementasannya pun tidak menggunakan wayang, kecuali untuk gunungan atau beberapa tokoh. Malah kadang ia menggunakan buah-buahan hasil kebun; seperti cabe, mentimun, tomat, bawang merah, dan lain-lain yang tertancap di batang pisang yang diusungnya di atas panggung. Durasi pementasannya pun fleksibel, pernah hanya 15 menit, pernah satu jam, pernah juga tiga jam. Pernah pentas dengan tiga orang, pernah pula pentas dengan 30. Begitu juga dengan iringan musiknya, ia hanya membawa satu atau dua jenis perangkat gamelan, bambu, ditambah gitar ukulele itu tadi untuk berimprovisasi. Seringkali juga dia ‘bermain’ musik dengan mulutnya. Yang jelas, Slamet Gundono mengemas Wayang Suket secara apik dan unik sebagai kreasi baru dunia pewayangan. Cerita yang diangkatnya pun tak sekadar cerita-cerita klasik yang bersumber dari kitab Mahabarata, Ramayana, kisah Panji, atau kisah Menak, tapi sudah berkolaborasi dengan sumber cerita keseharian yang lagi menjadi sorotan. Seringkali dia menyandingkan tokoh-tokoh wayang yang biasa dikenal dengan tokoh yang dicomot dari dunia keseharian sang dalang, semuanya berbalut kritik sampai joke-joke yang membuat penonton terpingkal-pingkal. Intinya, dia berpijak pada seni tradisi dalam mengupas persoalan pada masa kekinian. Biasanya, seusai pentas banyak penonton yang berebutan wayang suket untuk dibawa pulang dan dipajang di rumahnya masing-masing. Dari pengalaman beberapa tahun memopulerkan wayang suket, Slamet Gundono menandai orang-orang yang mengundang wayang suket tidak sekadar nanggap. Dia menangkap romantisme kuat pada mereka, yakni romantisme masyarakat agraris. Itu ada di ruang bawah sadar orang-orang kota. Tak hanya orang-orang asal Jawa yang antusias. Penonton di Berlin, Jerman, pun memberikan antusiasme serupa. Terlepas dari itu, Slamet Gundono terbilang sukses telah membuat Wayang Suket menjadi sebuah media seni teater berbasis kesenian tradisional wayang. Kelebihannya terletak pada ruang yang sangat bebas bagi penonton untuk membangun imajinasinya lewat wayang suket itu, menafsir kembali siapa itu wayang-wayang sebagai bayangan hidup. Ibaratnya manusia terus tumbuh tapi wayang kulit tidak. Werkudoro yang sedang sakit, misalnya, akan tetap membusung gagah, menangis pun tetap membusung gagah. Di satu sisi, ini menunjukkan wayang kulit sudah terlalu puncak, sudah selesai sebagai sebuah perjalanan estetika. Sudah stagnan untuk memberi ruang bebas. Sehingga akhirnya muncul eksperimen-eksperimen vulgar dan Slamet Gundono tampaknya memutuskan memilih suket untuk memulainya. Satu hal lainnya, bagi Gundono, filosofi suket sebagai sesuatu yang terus tumbuh adalah spirit yang membuatnya bangga. Suket hanya butuh air dan sinar matahari. Kekuatan filosofi inilah yang menggambarkan kekuatan ruang imajinasi dari wayang suket. Pertunjukkannya itu sendiri merupakan simbol grassroots. (Hanif Nashrullah/ Foto: www.gamelan.org.nz---dikumpulkan untuk memenuhi tugas tengah semester (1) mata kuliah Sejarah Pertunjukan Indonesia, Program Studi S-1, jurusan Teater, Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta Surabaya)

No comments:

Post a Comment