Wednesday, February 4, 2009

'Adjhing', Genre Drama Pertama di Madura

Adjhing diyakini sebagai genre drama pertama di Madura yang konon mendahului Loddrok (teater tradisi asli Madura lainnya yang, menurut sebagian besar pengamat, diserap dari perpaduan antara Ludruk, Jawa Timur, dan Ketoprak, Jawa Tengah). Di Pamekasan dan Bangkalan, Adjhing, pada awalnya, lebih dikenal dengan istilah Pandjhak atau Nadjagha, yaitu rekan sepermainan di dalam pertunjukan topeng di dalam acara salabadhan atau podjhian. Istilah lain dari adjhing, yang masih terkait dengan kegiatan musikal yang berisifat parodi dan ritual adalah semprong; yaitu menyangkut pelawak atau perangkat gong dari bambu yang mengiringi mereka pada acara salabadhan. Mudah-mudahan sampai sejauh ini tidak dibingungkan oleh beragam istilah di atas. Yang jelas, Adhjing di Madura lahirnya diyakini hampir bersamaan dengan munculnya ketoprak (Jawa Tengah) dan Ludruk (Jawa Timur), yaitu pada sekitar abad 19. Adjhing itu sendiri oleh masyarakat Madura dikenal sebagai suatu pertunjukan musikal tanpa topeng yang bersifat “doa pembawa kebaikan atau keagamaan”. Tak jauh beda dengan Ludruk dan Ketoprak, pada awalnya Adjhing dimainkan oleh sekelompok laki-laki namun yang satu ini diiringi oleh orkes Saronen. Berturut-turut, keseluruhan bagian pementasan Adjhing, meliputi: tari Baladewa, tari Ronding, dan lantas dilanjutkan oleh dagelan tentang kehidupan sehari-hari dan adegan yang dipetik dari kisah ‘Seribu Satu Malam’. Diperoleh keterangan tentang sejarah dan perkembangan tentang rombongan kelompok kesenian Adjhing di beberapa daerah di Madura. Di Ambunten, misalnya, hingga tahun 1980-an, sebuah rombongan Adjhing atau semprong diakui masih berpentas pada upacara ritual tertentu (rokat) diiringi oleh orkes saronen. Menurut informasi, pada waktu itu ceritanya mengandung banyak lelucon dan tidak menyebutikan kerajaan apa pun. Yang muncul pertama adalah tokoh Cuntrot, berbusana celana dan kemeja lengan pendek, memakai selendang di leher. Terdapat sebuah keris yang disisipkan di belakang pundaknya, berkaca mata hitam dan berkumis. Dia berjalan santai tanpa topi, diringi ‘ghending pancal bereng’. Selesai mengelelingi pentas tiga kali dia kembali ke tempat persiapan pemain. Busananya terlihat biasa saja, seperti pakaian sehari-hari; songkok beledu, celana dan baju untuk laki-laki. Serta kain batik, kebaya dan tutup kepala menerawang (tanpa sanggul Jawa) untuk perempuan. Satu-satunya hiasan fantasi adalah sebuah bando yang disisipi bulu ayam dan kaca mata kehitam-hitaman, yang dikenakan oleh tokoh raja, ratu dan patih. Disebutkan pula, aktor lainnya adalah para pemuda yang memakai sebuah penjhung, yaitu sejenis selendang yang dijadikan ikat kepala dengan ujungnya terkulai di sebelah kanan. Di Kalianget Barat, pernah dikisahkan tentang Adjhing yang diperankan oleh sejumlah aktris (perempuan) yang memakai kaca mata gelap dan mengenakan sejenis cadar. Pada saat bernyanyi (ngejhung), mereka terlihat lebih sering menutup mulut dengan sapu tangan, mungkin karena malu. Terungkap pula bahwa adjhing yang pernah dipentaskan di Saronggi, di masa zaman kemerdekaan dulu, mengisahkan adegan kehidupan sehari-hari tanpa struktur yang jelas. Hanya ada dua tokoh, yang memang harus selalu ada, yaitu Gusti Patih (Bhupate) dan Konieran (pesuruhnya atau pasoro). Para tokoh bertingkah lucu seperti pelawak sambil memberikan wejangan dan nasihat pendidikan. Di Tanjung, adjhing bahkan diakui telah ada sejak zaman Belanda. Dikisahkan bahwa awalnya pertunjukannya sangat sederhana sekali tanpa dekor. Mereka hanya bermain untuk orang sekampung dan yang dimainkan adalah sandiwara, bukan ketoprak. Jumlah anggotanya tiga puluh orang. Mereka mempunyai gamelan buatan Yogyakarta yang bagus sekali, terbuat dari adonan perunggu dan perak. Menjelang Kemerdakaan pada tahun 1943, kelompok ini berubah menjadi ketoprak. Sebelum tahun 1960-an, Adjhing diketahui masih tampil tanpa panggung yang sebenarnya dan hanya dengan sehelai tirai latar belakang saja, tanpa menarik biaya masuk. Kelompok ini berpentas atas dasar undangan ketika ada pesta atau upacara pribadi. Pada awalnya rombongan kelompok jenis kesenian ini hadir tanpa nama khusus. Adjhing juga diketahui merupakan ritus lama (salamadhan kona) yang diselenggarakan di makam keramat. Acaranya terdiri dari satu Ghambu yang ditarikan oleh dua penari laki-laki dan satu tarian Ronggeng yang dimainkan oleh dua laki-laki berbusana perempuan. Seorang laki-laki berkacamata hitam dan bersongkok, sambil menyandang tas, berjalan mengelilingi sebuah meja berisi sesajen (rasol) sambil terus berbicara dan bergurau. Para tokoh adegan yang menyusul adalah: Tuan (biasanya berperan sebagai seorang Belanda), Pasoro Opas (Pesuruh Tuan), Raden Abupati (Bhupate), Konieran (Pelawak dan Pasoro Pepate – Pesuruh Patih), dua Dinraddhin (Raden), dua ronggeng (penari perempuan) serta Mantre Tandhang (Juru Tari). Di atas panggung, Tuan tampak duduk, berdiri lalu memanggil pesuruhnya; Mantre Tandhang masuk lalu keluar; Raden Abupati lalu masuk, menari dan keluar. Muncul para ronggeng, menari, dan keluar sambil mengambil sesajen di meja; Tuan dan pesuruhnya lalu makan sisa sesajen di ata panggung sebelum keluar. Ghambu memainkan peran sebagai pegawai Tuan dan ronggeng sebagai pembantunya. Bentuk adjhing ini mirip slempangan yang mengejek serdadu yang telah mendaftar sebagai tentara Belanda maupun Belanda itu sendiri. Sementara itu, pertunjukan lainnya yang disebut ronding atau saronen hanya merupakan sebagian dari pertunjukan Adjhing lengkap. Adapun Ludruk Madura, atau yang oleh masyarakat setempat disebut loddrok, tak lain diilhami oleh unsur dagelan adjhing lama; permainan kata, mimik, gerak badan, serta wajah berias warna hitam dan putih. Pelayan-pelayan tidak memotong percakapan tokoh utama dan sebagian besar adegan lucu bersifat visual atau kial, seperti kapas di lubang hidung yang bergerak ketika tokoh bernafas, satu lengan kemeja yang dibiarkan melambai tidak dipakai dan sebagainya. Raja tidak boleh merayu perempuan dan langsung naik panggung tanpa menari. Sebaliknya, para patih dari dulu selalu menari, dan berdiri ketika raja masuk, sebelum kemudian duduk kembali. Termasuk pada tahapan (babak) berikutnya yang dikenal sebagai Ludruk Sandiwara: patih pada waktu memakai perhiasan pergelangan tangan dan leher seperti di dalam busana keraton Jawa, tanpa tutup kepala dan panggung sudah lengkap dengan tiga kain sebagai latar belakang. Terakhir muncul ludruk-ketoprak pada tahun 70-an. Pada saat itu, nama ludruk harus dirubah menjadi ketoprak supaya cocok dengan keadaan yang berlaku di Jawa. Bahkan ceritanya harus disusun oleh para guru atau pegawai. Dalam perkembangannya, banyak pengamat berpendapat bahwa jenis teater musikal tanpa topeng yang ada di Madura dikatakan terilhami oleh ludruk dan ketoprak dari Jawa. Ini karena pertunjukan sejenis itu di Madura biasanya mengandung acara pendahuluan yang banyak meminjam pada Ludruk Jawa Timur, serta acara pokoknya diilhami dari Ketoprak Jawa Tengah, meski seluruh pertunjukan berlangsung dalam bahasa Madura dan bukan dalam bahasa Jawa, serta menggunakan iringan gamelan. Justru, bagi yang tidak tahu apa-apa tentang Ludruk Jawa Timur, maka akan mengatakan bahwa Loddrok adalah merupakan keseian teater tradisi asli Madura, sedangkan yang asli Jawa adalah Ketporak dan keduanya memperagakan lakon-lakon setempat, di dalam bahasa setempat. Namun kebanyakan bahwa mereka yang berpendapat bahwa Loddrok adalah asli Madura tak lain karena mempertimbangkan faktor Adjhing Madura itu tadi, yang ciri lakawannya memang kemudian diwarisi oleh Loddrok. Sayang sekali, baik Adjhing maupun Lodrok itu sendiri yang merupakan genre awal teater di Madura saat ini tampaknya sudah punah seiring perkembangan zaman yang kian modern. (Hanif Nashrullah/ Foto: Surabaya Pagi---dikumpulkan untuk memenuhi tugas akhir semester (1) mata kuliah Sejarah Teater Jawa Timur, Program S-1 jurusan Seni Teater, Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta Surabaya)

1 comment: