Thursday, February 12, 2009

Siapa Berani Pimpin DKS?

Dewan Kesenian Kota Surabaya (DKS) kembali akan menggelar musyawarah untuk memilih ketua (beserta jajaran pengurusnya) periode masa jabatan 2009 – 2014. Musyawarah rencananya akan digelar hari Rabu pekan depan (18/12). Bagi yang berminat mencalonkan diri silahkan mendaftar. - Masih segar di ingatan, Konvensi Pemilihan Ketua DKS tahun 2004 – untuk masa jabatan periode 2005 - 2007. Itulah pertama kalinya pemilihan Ketua DKS digelar melalui konvensi yang melibatkan para seniman (dan masyarakat umum). Sebelumnya berturut-turut Ketua DKS dipilih langsung oleh Tim Formatur. Model pemilihan melalui konvensi ini ketika itu cukup menarik perhatian masyarakat luas. Rencana konvensi yang sejak jauh hari sebelum digelar secara berkala telah diberitakan surat kabar cukup memancing antusias warga kota untuk ikut mencalonkan diri jadi Ketua DKS. Tercatat ada 12 kandidat ketika itu yang mencalonkan diri, beberapa di antaranya bukan seniman ataupun penikmat seni. Sejumlah seniman yang paham betul dengan kondisi DKS sempat mempergunjingkan beberapa orang yang bukan seniman dan sebelumnya tidak pernah mampir ke DKS ataupun terlihat di sebuah pertunjukan seni yang tiba-tiba maju ingin jadi Ketua DKS. “Mungkin mereka pikir Dewan Kesenian Surabaya tak ubahnya seperti Dewan Perwakilan Rakyat yang dana anggaran kerjanya bernilai miliaran rupah sudah tersedia melalui APBD,” kelakar seorang seniman sembari terbahak. Para seniman yang sudah familiar dengan DKS kian dibuat terkekeh oleh salah seorang kandidat yang bukan seniman yang datang di acara konvensi mengenakan pakaian jas lengkap dengan dasinya. Kandidat yang kostumnya sudah terlihat seperti anggota dewan ini, di tengah acara konvensi yang berlangsung alot, mungkin karena ongkep/ kepanasan, kemudian membuka jas dan melonggarkan dasinya seraya terus mengikuti jalannya konvensi hingga usai sampai malam hari. Konvensi yang sempat diwarnai aksi demonstrasi oleh segelintir aktivis seniman kampus ini akhirnya menetapkan tiga kandidat yang memperoleh suara terbanyak untuk duduk sebagai Ketua Presidium DKS periode 2004 - 2007. Mereka adalah Ivan Hariyanto, Surin Wilangon dan Yunus Jubair – ketiganya perupa. Tampaknya, setelah menduduki jabatan itu, barulah mereka tahu bahwa duduk jadi pengurus di Dewan Kesenian Kota Surabaya sedikitpun tak sama nasibnya dengan para wakil rakyat di Dewan Perwakilan Rakyat. Bisa jadi karena alasan itu ketiga Ketua Presidium hasil konvensi tersebut kemudian akhirnya memilih angkat kaki dari DKS bahkan jauh hari sebelum masa jabatannya habis. Adalah Surin Wilangon yang terlebih dahulu secara diam-diam meninggalkan kursi jabatannya di DKS. Sejak terpilih menjadi salah satu Ketua Presidium DKS, dia terlihat ngantor cuma selama seminggu. Selebihnya hingga sekarang dia tidak pernah kembali ke DKS. Kabarnya dia lari dari DKS sambil membawa sisa uang Rp. 50 juta yang dihibahkan Walikota Surabaya, Bambang DH, untuk pelantikan para pengurus DKS periode 2005 - 2007 di awal tahun 2005 silam. Menyusul tak lama kemudian satu per satu Ketua Presidium hasil konvensi lainnya mengikuti jejak Surin, menghilang dari DKS secara diam-diam. Bedanya, yang dua lainnya ini tanpa membawa apa-apa. “Pengurus DKS ternyata cuma aktif bekerja selama sebulan,” ungkap seorang seniman menyinggung ketiga Ketua Presidium DKS hasil konvensi yang sudah tidak pernah nongol di DKS ini. Adapun DKS, sejak berdiri tahun 1972, para pengurusnya memang tidak pernah digaji alias bekerja sebagai volunteer. Namun kasus desersi baru kali ini terjadi. Padahal, masih beruntung, sejak tahun 1999 Pemkot Surabaya mau bermurah hati dengan memberi kucuran Rp. 2 juta per bulan untuk DKS. Tapi dana segitu hanya cukup untuk menggaji pekerja fulltimer, bayar tagihan telepon dan langganan koran. Namun, sejak 2007 lalu, Pemkot menghentikan kucuran dana Rp. 2 jutaan per bulan untuk DKS tanpa alasan yang jelas. Akibatnya sejak itu tagihan telepon DKS nunggak hingga sekarang, langganan koran otomatis diputus oleh agennya dan gaji fulltimer-nya tidak terbayar. Dekan Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Arilangga (Unair), Aribowo, MA, menduga dihentikannya kucuran Rp. 2 jutaan per bulan itu karena DKS tidak pernah transparan dalam mengelola keuangannya. Dia mencontohkan bahwa sebenarnya DKS bisa memperoleh dana besar dari Pemkot, seperti Rp. 50 juta yang kemudian separuhnya dibawa lari oleh Surin itu. “Di banyak kesempatan juga sering dijumpai sumbangan dari berbagai pihak untuk kegiatan DKS yang seharusnya dijalankan salah satu komitenya, justru dikelola sendiri oleh ketuanya. Bisa jadi karena itu kemudian Pemkot enggan memberi dana dengan jumlah besar lagi untuk DKS,” ujarnya. Untuk itu, Aribowo menyarankan, hendaknya ke depan, kalau mau berkembang, DKS harus berubah, kalau tidak dia akan terasing dan malah tidak mendapatkan dana sama sekali dari Pemkot seperti sekarang ini. “Pemerintah wajib memfasilitasi DKS. Pun, sebagai feedback, DKS harus bisa memberi masukan kepada pemerintah untuk pengembangan kebudayaan dan kesenian. Juga memberi pertimbangan pada kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan kebudayaan kalau dibutuhkan,” tandasnya. Saat ini, Panitia Musyawarah untuk Pemilihan Ketua DKS periode masa jabatan 2009 - 2014 telah mempersiapkan aturan agar para kandidat, jika terpilih nanti, tidak lagi bisa main-main. Utamanya agar kasus desersi seperti yang dilakukan oleh para Ketua Presidium hasil konvensi tahun lalu tidak terjadi lagi. “Sempat terbesit aturan yang super ketat bagi masing-masing kandidat, semisal untuk menjadi kandidat harus mengambil formulir pendaftaran dengan biaya sebesar Rp. 5 juta. Ini untuk mengukur tingkat keseriusan kandidat dalam mencalonkan diri sebagai Ketua DKS,” terang Humas Panitia Musyawarah Pemilihan Ketua DKS, Farid Syamlan. Hal itu, menurut Farid, dimaksudkan agar seandainya kandidat itu nanti terpilih, biar tidak kaget kalau mendapat bantuan dana besar entah itu dari Pemkot atau instansi manapun. “Sebab biasanya kalau kaget, dana bantuan besar yang seharusnya diperuntukkan untuk program kerja DKS itu bisa-bisa langsung dibawa lari untuk dinikmati sendiri dan yang bersangkutan tidak akan pernah kembali lagi ke DKS,” ujarnya. Di tengah karut-marut berkepanjangan yang sedang melanda DKS hingga sekarang ini, tampaknya yang dibutuhkan DKS adalah seorang fighter di posisi ketua yang mampu menyiapkan dana untuk menjalankan program-program kerjanya. Sukur-sukur kalau dia mampu mendobrak birokrasi di Pemkot agar menyediakan dana anggaran program kerja DKS melalui APBD. Adakah yang berani mengambil tantangan ini? (Hanif Nashrullah/ Grafis: Saiful Hadjar)

1 comment:

  1. blog sampean ini hebat padahal belum lama tapi yang buka sudah banyak, salut mas

    ReplyDelete