Monday, February 2, 2009

“Tuk”, Masterpiece Teater Gapit

Lakon ‘Tuk’, yang ditulis oleh mendiang Bambang Widoyo SP dari Teater Gapit, bercerita tentang nasib wong cilik dan kaum miskin yang tinggal dalam lingkungan Magersaren---tempat hunian tak tercatat dalam satu areal yang ditinggali turun-temurun. Penghuninya terdiri atas tukang jahit, bakul pasar, preman, pengangguran, tukang kerok, tukang tambal ban, dan pedagang kelontong keliling. Mereka hidup dikelilingi oleh sumur, gubuk-gubuk sempit sewaan nan bobrok dan saling bertempelan rapat. Di sanalah mereka hidup bertetangga, saling berbagi gosip dan cerita, berbagi keresahan dan derita, dari masalah ember bocor hingga naiknya uang sewa. Tampaknya mereka disatukan oleh nasib sebagai orang kecil, marginal, yang sedang menghadapi kekuasaan pemilik Magersari dan pemilik modal besar yang kabarnya hendak menggusur areal tempat tinggalnya untuk dijadikan pertokoan modern. ‘Tuk’, judul pementasan ini, yang berarti sumber air, yang juga berarti sumber kehidupan, memang berpusat di sebuah sumur yang menjadi pemasok air bersih bagi penghuni Magersaren. Ketika sumur sumber kehidupan itu ternoda lantaran dikencingi oleh tokoh preman bernama Soleman alias Lisman Lempit dan dijadikan lokasi perselingkuhan Menik (anak pemilik magersari), penunggu sumur pun murka. Lingkungan kumuh Magersaren itu lantas diamuk api dan terbakar habis. Bersamaan dengan itu, Mbak Kawit, janda tua tanpa anak yang menjadi panutan di lingkup perkampungan kumuh ini, menghembuskan nafas terakhir. Pementasan panjang berbahasa Jawa, dengan durasi hampir tiga jam, yang membutuhkan banyak nafas itu pun berakhir. Tuk yang ditulis Bambang Widoyo SP pada tahun 1989 dan dipentaskan keliling ke berbagai kota hingga pertengahan 1990-an inilah yang mengangkat Teater Gapit---teater berbahasa Jawa asal Solo---menjadi teater realis yang kemudian sangat diperhitungkan di tanah air. Sejumlah pengamat meyakini, dari sekitar delapan naskah lainnya yang pernah ditulis Bambang Widoyo SP (semuanya berbahasa Jawa) untuk Teater Gapit sejak 1982 (dia meninggal tahun 1996), lakon ‘Tuk’ ini merupakan karya masterpiece-nya. Oleh karena Bambang Widoyo SP merupakan pendiri Teater Gapit, maka ‘Tuk’ pun masterpiece-nya Teater Gapit pula. Penilaian ini didasari oleh saratnya muatan sastra dan filsafat dalam naskah ‘Tuk’, serta didukung oleh garapan panggung yang apik, diperankan oleh para aktor dan aktrisnya dengan sangat kuat sekali dan menyatu dengan naskah. Hal ini tak lain karena dalam sejarah pementasan Teater Gapit sejak awal, pada tahun 1980-an, telah melibatkan para pendukung yang yang berasal dari mahasiswa Akademi Seni Karawitan Indonesia Surakarta---yang memang sangat akrab sekali dengan elemen-elemen seni budaya tradisi Jawa. Pada akhirnya para pendukung ini benar-benar memperkaya seluruh pementasan Teater Gapit. Kehadiran mereka bukan hanya sekadar sebagai pemain, melainkan juga sebagai kontributor yang konkret sejak proses penulisan naskah hingga pemanggungan karena masing-masing memiliki latar keterampilan yang memadai, seperti karawitan, pedalangan, dan tari. Itulah yang membuat pementasan Teater Gapit terasa utuh dan memperlihatkan kekompakan dari setiap unsur pemanggungannya. Konon Teater Gapit menggunakan media bahasa Jawa lisan atau sehari-hari yang terasa vulgar bagi telinga priayi merupakan sebuah pilihan akan sebuah genre yang berpretensi bahwa sastra Jawa (modern) akan bisa diterima di tengah masyarakat (Jawa) yang selalu berubah. Inilah yang membedakan Teater Gapit dengan bentuk sandiwara berbahasa Jawa lainnya, baik di panggung maupun radio. Pun terbukti, sejak itu, pisuhan-pisuhan atau umpatan yang oleh para aktor Teater Gapit dilontarkan dengan fasih di atas panggung kemudian banyak ditiru oleh kelompok teater lainnya. Ironisnya, ketika kalangan pemerhati memprihatinkan perkembangan sastra Jawa yang dewasa ini dibilang ”mati suri”, namun fenomena Teater Gapit itu sendiri dengan lakon-lakon yang ditulis oleh Bambang Widoyo SP tidak pernah menjadi bahan telaah di tengah masyarakat sastra dan bahasa Jawa. Teater Gapit sendiri ikut mati sepeninggal Bambang Widoyo SP pada tahun 1996. Belakangan ini para ‘alumnusnya’ mencoba bangkit lagi sejak pertengahan 2008 lalu. Kali ini tidak lagi menggunakan nama Teater Gapit, tapi memilih menamakan diri sebagai Teater Lungid. Mereka mengawalinya dengan kembali mengangkat Lakon ‘Tuk’. Di antaranya telah dipentaskan di Teater Arena Taman Budaya Surakarta, 26 – 28 Juli 2008, serta Komunitas Teater Salihara Jakarta, 24 – 25 Oktober 2008. Tercatat para mantan aktor Teater Gapit seperti Pelok Sutrisno, Budi Bayek, Wahyu Cunong, Djarot B Santoso, dan Cempluk Lestari turut ambil bagian dalam pementasan ini. Mereka yang sudah tidak berusia muda lagi itu masih menunjukkan stamina yang prima sebagai aktor. Penampilan mereka menimbulkan harapan bagi banyak penikmat teater di tanah air agar pementasan Teater Lungid dengan naskah masterpiece ‘Tuk’ ini tidak sekadar menjadi ajang reuni belaka bagi para mantan komunitas Gapit. Mudah-mudahan saja mereka kedepan bisa kembali meramaikan pentas teater tanah air dengan gebrakan barunya sepeninggal sang maestro Bambang Widoyo SP. (Hanif Nashrullah/ Foto: Istimewa---dikumpulkan untuk memenuhi tugas akhir semester (1), mata kuliah Sejarah Pertunjukan Indonesia, Program Studi S-1, jurusan Seni Teater, Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta Surabaya)

No comments:

Post a Comment