Tuesday, February 10, 2009

Indonesia Perlu Referendum

Melihat latar belakang keluarganya yang mapan, rasanya sungguh di luar dugaan jika Pipit Rochijat Kartawidjaja kemudian menjadi musuh nomor satu rezim Orde Baru pimpinan mendiang Presiden Soeharto di Jerman. Sekilas, ayahnya, M. Kartawidjaja, yang bekerja sebagai pejabat Pabrik Gula (berpindah-pindah dari Jatiroto/ Lumajang, Semboro/ Jember, Ngadirejo/ Kediri, dan Surabaya) tentunya hanya mengalami masa-masa sulit di saat Partai Komunis Indonesia (PKI) berkuasa (1961 – 1965). Pada masa-masa sebelum itu dan bahkan selebihnya keluarga Kartawidjaja hidup dalam keadaan yang serba mapan. Sebagai seorang anak pejabat Pabrik Gula, Pipit pun dapat merasakan fasilitas yang tidak bisa dirasakan oleh anak-anak Indonesia pada umumnya ketika itu. Dia, misalnya, bisa sekolah bareng anak-anak orang Belanda di sekolah katolik di berbagai kota tersebut. Yang jelas, selapas SMA, pada tahun 1968, Pipit melanjutkan studi di Institut Teknologi Bandung. Lantas awal tahun 1971 dia hengkang ke Jerman (Barat). “Maklum, otak blong – artinya, yang masuk kepala langsung keluar. Waktu itu di Indonesia ada semboyan, yang bloon studi ke Jerman Barat,” kenangnya. Pipit pun melanjutkan studi teknik elektro di Technisce Universitaet, Berlin (Barat). Namun hanya mampu mencapai tingkat Sarjana Muda di tahun 1975. “Padahal bokap ingin saya jadi Doktor atau Ph.D segala. Agaknya saya punya otak nggak kuat. Lantas iseng-iseng nongkrong di jurusan Sosiologi di Freie Universitaet, dan studi elektro saya putus. Pada tahun 1977 saya bergabung menjadi anggota PPI Cabe (Persatuan Pelajar Indonesia Cabang Berlin),” tandasnya. Maka sejak itulah Pipit mulai ‘bergerak’. Saking banternya di pergerakan, sehingga segala gerak-geriknya selalu mendapat ‘perhatian khusus’ dari rezim Orde Baru. “Mainnya Bakin itu lihai sekali. Mau cabut kewarganegaraan saya, mereka tak punya landasan hukum. Padahal Indonesia katanya negara hukum. Tapi karena mereka maunya mencabut kewarganegaraan saya, maka dipilihlah jurus Frechtstaat alias negara nakalan. Jurus pertamanya, sejak tahun 1983, usia paspor saya cuma dikasih enam bulan terus, padahal normalnya dua tahun. Tahun 1986 dikasih setahun. Baru pada awal tahun 1987 paspor saya dicabut,” terangnya. Kendati demikian, Pipit masih berkewarganegaraan Indonesia. Bahasa resmi Konjen: paspornya 'disimpan' dan dia berstatus 'warga negara Indonesia tanpa dokumen'. Apa yang membuat Pipit lebih tertarik pada pergerakan politik ketimbang menggeluti keilmuwan dari gelar Sarjana Mudanya di bidang Teknik Elektro – terlebih dengan latar belakang keluarganya yang sebenarnya telah mapan? Berikut wawancara dengan Pipit Rochijat Kartawidjaja di tengah kesempatan pulang kampung di Surabaya belum lama lalu: Bidang studi kuliah yang Anda ambil Teknik Elektro, lantas apa yang sebenarnya membuat Anda putar haluan dan lebih memilih menggeluti pergerakan politik? -Konstitusi negara Jerman tampaknya mengharuskan warganya untuk berpolitik. Jerman adalah Negara Republik yang demokratis. Pembagian wilayah antara Negara, Masyarakat, dan Pemerintah di Jerman terlihat jelas sekali. Barangkali generasi penerus Jerman telah mempelajari kesalahan dari rezim Hitler sehingga negara tersebut kemudian dijalankan bagaikan sebuah organisasi. Maka rakyat harus turut berpartisipasi. Karena itu, anak-anak pun telah diberi pendidikan politik sejak dini. Pada usia kelas 3 SMP, anak-anak di Jerman sudah diwajibkan mengambil program parpol. Upaya lain adalah menggiring anak-anak usia SMA agar mengikuti seminar-seminar tentang politik. Di situ ditekankan bahwa politik itu tidak sama dengan ideologi. Pendeknya, politik selalu menghiasi di hampir semua aspek kehidupan di Jerman. Bisa jadi karena itu kebanyakan lulusan mahasiswa Indonesia yang studi di Jerman lantas tertarik untuk berpolitik. Bagaimana reaksi keluarga di tanah air mengetahui Anda terjun dalam pergerakan politik? -Tentu saja bokap keberatan kalau saya ada main politik-politikan. Karena itu saya bilang, biar saya cari nafkah sendirilah. Sebetulnya bokap ada kuat membiayai. Keberatan bokap, ya, bisa dimengerti sebab kala itu dia jadi pejabat. Dia dapat doku dari government, lah kok sekarang ngasih makan orang yang melawan government. Maka sejak tahun 77, ketika mulai main politik-politikan, saya kerja angkat-angkat alias nguli di pabrik-pabrik. Setelah itu angkat-angkat piring dan hidangan alias pelayan restoran. Waktu itu rezim Orde Baru, seperti apa persisnya pergerakan yang anda lakukan dalam menentang otoritas Presiden Soeharto? -Perlawanannya sebatas kritik, lewat tulisan-tulisan di berbagai surat kabar. Atau paling banter, ya, berdemonstrasi. Apa itu yang membuat paspor anda kemudian dicabut? -Paspor saya dicabut tahun 1987 karena dianggap sebagai dalang berbagai aksi demonstrasi. Alasan resminya sih karena dianggap memecah belah mahasiswa (Indonesia di Jerman). Pelemparan telur busuk oleh mahasiswa Indonesia saat Pak Harto melakukan kunjungan kenegaraan ke Jerman, Anda dituduh ikut terlibat dalam aksi itu, apa memang begitu? -Peristiwa Dresden 1994, saya tidak di sana waktu itu. Memang sering kok saya dituduh seperti itu dalam aksi mahasiswa di Jerman lainnya meski saya tidak sedang berada di sana saat kejadian berlangsung. Sudah biasa saya menerima tuduhan semcam itu. Ketika passpor Anda dicabut 1987, susahkah Anda dalam menjalani kehidupan sehari-hari selanjutnya, khususnya dalam berinteraksi dengan masyarakat atau atau dalam berurusan dengan Pemerintah Jerman itu sendiri? -Ternyata tidak dipersulit. Mungkin karena Jerman Barat tunduk kepada Perjanjian PBB, maka Jerman Barat musti membuat saya jadi 'manusia’. Karena tanpa dokumen kan jadinya demit atawa hantu. Pemerintah Jerman Barat bahkan menyuruh-nyuruh saya menerima dokumen. Nah, inilah yang dinantikan pihak perwakilan. Kalau saya mau menerima dokumen bersifat paspor, maka perwakilan punya alasan mencabut kewarganegaraan saya. Sebab ada Undang-undangnya, yaitu kewarganegaraan akan hilang bila sang warga negara ini memegang dokumen bersifat paspor dari negara asing. Itulah pasalnya, setiap tahun, perwakilan selalu menulis surat resmi ke pihak imigrasi Jerman, menanyakan dokumen apa yang sedang saya pegang. Cuma, pihak imigrasi Jerman Barat, ogah menjawab. Beberapa kali saya perpanjang izin tinggal, dan mereka selalu memberi tahu saya tentang keingintahuan pihak perwakilan itu. Untuk mengurus dokumen menjadi warga negara Jerman, misalnya, apakah susah? -Ada tahapan-tahapan prosudernya dan kalau itu dijalani, ya, tidak begitu susah. Untuk gampangnya, kenapa Anda tidak memilih mengajukan diri jadi warga negara Jerman saja? -Ketika reunifikasi Jerman 1990, sebenarnya saya telah ditawari itu dengan prosedur yang lebih gampang. Tapi saya tolak. Kenapa? -Saya ‘bergerak’ tahun 1977, ikut berpartisipasi untuk Indonesia. Terlebih, ternyata Indonesia tidak dikenal di luar negeri. Orang Indonesia tidak dianggap ada. Sedih sekali rasanya kalau meninggalkan Indonesia dalam kondisi seperti itu. Indonesia baru dikenal orang Eropa, ya, sejak zamannya Bom Bali tahun 2002 kemarin itu. Ketika Pak Harto lengser, tahun 1998, akhirnya Anda bisa pulang ke tanah air setelah sekian lamanya menjadi exil di negeri orang, bagaimana rasanya? -Ya, Pak Harto lengser Mei 1998, saya langsung pulang ke tanah air pada bulan berikutnya, Juni 1998. Ternyata warisan Pak Harto itu luar biasa sekali. Saya melihat kesemrawutan, seperti contohnya di jalan raya. Orang kita tidak bisa tertib, tidak bisa antre. Itulah warisan peninggalan Pak Harto yang masih kuat mengakar hingga ke lapisan masyarakat bawah yang bahkan masih berlangsung sampai sekarang. Rasanya di masa Orde Lama, ketika saya meninggalkan Indonesia, keadannya jauh lebih tertib. Apakah Anda melihat telah ada perubahan dari hasil yang telah dilakukan Pemerintahan setelah rezim Soeharto? -Yang paling tampak adalah perubahan pada pers yang sekarang sudah sangat bebas. Kehidupan demokrasi juga sudah mulai ada dengan beberapa catatan-catatan. Yang jelas, demokrasi sudah berjalan, di antaranya karena ada pemilu. Komentar Anda tentang Pemilu di Indonesia? -Pemilu merupakan salah satu kegiatan demokrasi dan itu sudah mulai dijalankan di Indonesia– yang Pemilu 1999 kita abaikan saja – katakanlah mulai tahun 2004. Nah, pertama, yang belum ada di Indonesia adalah referendum, bukan referendum seperti yang di Timor Timur, tapi referendum hak bertanya di pertengahan masa jabatan. Seharusnya, dengan adanya referendum ini, rakyat, melalui perwakilan-perwakilan – entah itu organisasi atau LSM, terserah bunyi konstitusinya – berkesempatan menurunkan anggota dewan yang dinilai selama bertugas sampai di paruh waktu masa jabatannya itu dinilai tidak mengaspirasikan suara rakyat agar diganti dengan yang baru. Di Negara-negara maju seperti di Eropa, referendum sudah lama diterapkan. Di Swiss, bahkan pelaksanaan referendumnya lebih gila lagi. Tidak hanya digelar di paruh waktu masa jabatan, tapi dibebaskan kapan saja, sehingga warga berkesempatan lebih sering menggelar referendum. Kedua, sebetulnya pemilu ini dipasung. Pemilu nasional dan daerah dijadikan satu penyelenggaraannya. Seharusnya dipisah, karena dengan begitu rakyat pada akhirnya tidak bisa membedakan mana isu nasional dan lokal/ daerah yang dikampanyekan oleh para caleg. Contoh, Pak Henky Kurniadi, misalnya, dalam setiap kampanyenya dia menyuarakan isu nasional atau daerah? Dengan ambiguitas yang seperti itu maka masyarakat tidak pernah dididik. Itu namanya pemasungan. Padahal, dengan penyelenggaraan Pemilu yang dipisah antara daerah dan nasional maka akan ada kontrol terhadap pemerintah. Yaitu kontrol di tengah-tengah. Maksudnya, setelah pemilihan di daerah, jika partai-partai yang terpilih itu di tengah jalan terbukti tidak menyuarakan aspirasi rakyat, maka dalam pemilu tingkat nasional rakyat tidak akan memilihnya. Ketiga, partai lokal tidak ada (selain di Provinsi Nangroe Aceh Darussalam). Padahal, buktinya, berdasarkan statistik hasil pemlu 2004, PKB itu pemilih terbesarnya berasal dari warga lokal, Jawa Timur. Satu lagi keuntungan dengan keberadaan partai lokal ini adalah jika dalam perjalanannya dia menjadi partai yang kuat, maka dia bisa mengembangkannya menjadi partai lokal yang lebih luas lagi ke daerah lainnya, begitu seterusnya hingga dia bisa semakin besar menjadi partai nasional. Pada intinya, perpolitikan di tanah air sebenarnya belum demokratis betul karena semuanya masih diperitah oleh pusat. Dengan setiap kali Pemilu muncul partai baru, dan karena itu muncul caleg-caleg baru pula yang seringkali asal comot saja dengan kualitasnya yang tidak jelas, komentar Anda? -Itu sebenarnya tidak masalah. Yang seperti ini juga terjadi di Eropa. Toh juga akan memberi pembelajaran pada masyarakat dan masyarakat pada akhirnya nanti akan memilih parpol yang sering masuk parlemen. (Naskah & Foto: Hanif Nashrullah)

No comments:

Post a Comment