Thursday, February 5, 2009

Problematika Tubuh bagi Aktor dan Aktris

Terbentuknya budaya dari berbagai nilai tak lain berawal dari tubuh. Semua peradaban berkaitan langsung dengan kelebihan, keterbatasan maupun pengagungan tubuh manusia---mulai dari militerisme, seni, filsafat hingga kosmetika. Antropologi visual memperlihatkan banyak produk karya seni yang dapat dinikmati dengan mata, terutama fotografi dan film, menyingkap bagaimana seni melakukan pergulatan panjang dengan tubuh manusia. Sebuah godaan yang pada gilirannya terkesan lebih mirip dengan bagaimana manusia sebenarnya gemetar melihat tubuhnya sendiri karena ia bisa sakit, terluka, lumpuh, tua, cacat dan mati. Tubuh manusia adalah medan perang dengan lalu lintas nilai yang bergerak di sekitarnya, mulai dari soal kegagahan dan kecantikan; ikon ras, ideologi dan agama, hingga ke ikon kelas ekonomi yang menegaskan diri dari pakaian yang dikenakan. Teater (dan Tari) merupakan godaan terbesar dalam kerja kesenian, karena keduanya hidup sebagai kesenian yang paling dekat dengan manusia. Terlebih kedua bidang seni ini menggunakan media langsung dari dirinya, yaitu tubuhnya sendiri. Bidang kesenian yang lain menggunakan alat atau media yang berjarak dengan – dan bukan bagian langsung dari – tubuhnya. Karena itu pula tubuh teater (dan tari) merupakan tubuh yang mengalami langsung kegelisahan menguasai posisi ketika tubuh sudah berada di ruang pentas dengan mata penonton yang terus menatap setiap gerak dan tindakan. Tubuh-tubuh itu mengalami langsung seluruh proses gelombang objektifikasi maupun subjektifikasi yang bergelora di ruang pentas. Seniman dari bidang lain tidak mengalami kegelisahan tubuh seperti ini. Mereka telah mati ketika karyanya sudah sampai di tangan pembaca sebagai karya sastra, senirupa atau musik. Sementara aktor (dan penari) mempertaruhkan langsung tubuhnya di atas panggung dari penilaian mata penonton. Mereka juga harus menghadapi resiko lain kalau listrik mati atau ada pemain yang sakit menjelang pentas. Yang menjadi taruhan bagi seorang aktor (dan juga penari) adalah bagaimana ia bisa membawakan teater (dan tari) yang kemudian dapat membangun “budaya publik” sebagai bagian dari kualitas kehidupan bersama umat manusia. Aktor (dan aktris) dalam pertunjukan-pertunjukan yang disutradarai Konstantin Stanislavsky rata-rata buruh. Tubuh aktor itu memiliki pengalaman kerja masing-masing. Tubuh itu juga mengalami konflik ideologis sebagai buruh, mengalami langsung transformasi peran dari rumah hingga pabrik (tempat mereka bekerja), dan panggung teater (tempat mereka pentas). Ada semacam kontinyuitas perubahan peran yang berlangsung dalam lingkungan sosial mereka; kontinyuitas yang bisa disebut sebagai keberlanjutan teater sosial ke teater pertunjukan. Karena itu pula hubungan teater dengan realitas sosial seperti ini mudah untuk membuat politik menjadi teater atau sebaliknya teater menjadi politik. Lembaga-lembaga negara dan politik (parlemen, eksekutif, lagislatif dan partai), juga sudah menjadi teater politik. Vsevolod Meyerhold, contohnya, yang mengembangkan metode akting “biomechanics” dalam teater di Rusia, akhirnya harus menjalani hukuman mati di bawah pemerintahan Stalin---memperlihatkan bagaimana negara masuk begitu jauh ke dalam mati hidupnya seorang seniman teater. Pabrik dan teater, atau aktor dan buruh, seperti yang ditangani Stanislavskiy, bagaikan sebuah pertemuan yang panas antara aktor dengan peran. Tetapi kondisi mental para aktornya masih memiliki sisi lain. Kalau ditanyakan peran apa yang ingin mereka mainkan? Kebanyakan mereka ingin memerankan raja atau ratu. Padahal mereka belum pernah merasakan hidup sebagai raja atau ratu. Rata-rata mereka adalah buruh. Karena itu teater bisa menjadi “rumah gila” bila hal ini tak terpecahkan---begitu tulis Stanislavsky dalam biografi teaternya. Kebanyakan aktor (dan aktris) di Indonesia berangkat dari kondisi yang sama sekali tak sama dari yang terjadi di Rusia. Kebanyakan mereka adalah anak muda, mahasiswa/i atau penunggu kesempatan kerja. Tubuh mereka bisa dibayangkan sebagai tubuh yang belum memiliki banyak pengalaman transformasi peran. Tubuh mereka lantas diisi dengan banyak teori-teori dramaturgi, terutama latihan fisik sebagai aktor—olah vokal, olah tubuh dan pernafasan. Latihan-latihan seperti ini sering kali tumbuh dari lingkungan yang melihat teater sebagai tempat para pertapa melakukan latihan meditasi, atau sebaliknya yang berkesan militeristik: tempat para kesatria beradu kekuatan. Karena itu pula teater modern di Indonesia menjadi sangat ‘lelaki’. Sebenarnya, di balik meditasi ada semacam argumentasi untuk penggalian pengalaman kedalaman yang diperlukan actor: membuka wawasan ke dalam diri. Sementara untuk olah tubuh juga ada semacam argumentasi: untuk pengembangan wawasan ketubuhan aktor. Keduanya bisa dianggap sebagai modal dasar untuk menjadi seorang aktor. Tetapi sebenarnya lebih dari itu. Kedua latihan ini sudah menjadi teater tersendiri. Namun seringkali justru bisa menutup diri untuk terjadinya transformasi peran dalam kerja teater. Meditasi dan latihan tubuh yang militeristik bahkan bisa menggiring tubuh aktor ke dalam stereotip tertentu, yang justru bisa “meringkus” peran yang sedang mereka jalani. Alhasil banyak pertunjukan teater yang penuh dengan teriakan, suara keras, tubuh yang tegang, atau kedalaman meditasi yang berlebihan yang hampir menjadikan dirinya “kolam narsistik”. Terlebih yang hadir bukan lagi aktor dengan tubuh yang memerankan, melainkan tubuh yang “mengatasi” peran, “menyungkupi” peran. Tubuh itu belum sungguh-sungguh membuat “pertemuan khusus” dengan peran yang akan mereka bawakan. Kerja sutradara dengan tubuh aktor seperti ini tidak akan pernah jauh dari kerja permainan bentuk. Teater dengan model latihan di atas sebenarnya cenderung melahirkan teater anti-peran dan anti-cerita. Teater ini lebih dekat dengan model “kesurupan” dalam seni pertunjukan tradisi Indonesia. Namun yang ini lebih sebagai “kesurupan-yang-disadari”. Dalam model ini, energi yang tumbuh dalam tubuh aktor jauh lebih menentukan daripada prosedur-prosedur personifikasi yang ditempuh untuk mendekati peran. Teater dengan model ini memiliki potensi besar membuka “jalan tubuh” sebagai jalan dramaturgi, ketika aktor bisa mengatasi masalah “pengelembungan” diri yang cenderung “mengatasi” peran kemudian menemukan kerja pemeranan sebagai “menjadi”. Dalam kenyataannya, budaya tubuh yang berlangsung dalam kebanyakan aktor di Indonesia memang lebih dekat dengan kerja pemeranan “menjadi”, dibandingkan dengan konsep pemeranan “transformasi” yang lebih bermain di tingkat disain dan eksekusi terhadap desain pemeranan yang dijalani. Membangun budaya tubuh lewat pendekatan “menjadi”, yang awalnya diperkenalkan oleh Rendra, ini memiliki banyak resiko membuahkan “tubuh-gila” atau “tubuh-narsis”, terutama ketika pendekatan itu gagal menemukan bahasanya. Atau lebih tepatnya gagal membaca pendekatan itu sebagai media penyutradaraan sekaligus peralatan aktor, lalu terperangkap dalam banyak stereotip super ego yang dibiarkan ikut mendominasi pemeranan. Tubuh-teater memang sensitif untuk terperangkap dalam stereotip tertentu tanpa disadari dan menghasilkan “ego-stereotip” pula. Ego-stereotip ini mudah tumbuh lewat latihan dasar dan hubungannya dengan peran-peran besar dari naskah yang mereka pentaskan. Medan perangkap itu cukup mudah dibaca: tubuh aktor bekerja dengan memori untuk memasuki peran; ketika memori dipenuhi oleh stereotip, maka kesempatan aktor untuk melakukan “pertemuan khusus” dengan peran hampir sulit terjadi, terhadang oleh ego-stereotipnya sendiri. Barangkali ini cukup menjelaskan bahwa tubuh (baik tari maupun teater) bukanlah sebuah dunia yang berdiri sendiri. Sebuah bukti bahwa tubuh mudah terperangkap dalam ego-stereotip yang membentuknya. Sebagaimana pergaulan teater yang timpang dengan naskah. Semisal kerja teater pada kebanyakan kelompok teater diawali dengan keputusan memilih naskah. Seolah tanpa cerita, teater seakan-akan menjadi tidak mungkin dimengerti. Pun sebagian besar dari liputan-liputan media massa cetak atas pertunjukan teater juga lebih banyak berangkat dari sinopsis cerita yang dipentaskan. Beberapa lembaga pun secara kontinyu menyelenggarakan workshop-workshop penulisan naskah. Seakan-akan penulisan naskah tidak beda jauh dari teknik dan teori tulis-menulis, tanpa terlalu perduli dengan konsep dramaturgi dari teater yang akan dikembangkan oleh sang penulis. Ketergantungan teater terhadap cerita bisa dilacak lebih jauh sebagai bagian dari kerja budaya lisan yang membentuknya. Pada gilirannya, ketergantungan itu menggiring tubuh aktor menjadi “tubuh-naratif”, yaitu tubuh yang mengabdi pada cerita; tubuh yang banyak bekerja meneruskan pesan-pesan di luar peran. Semisal mengatakan “tidak” sambil menggeleng-gelengkan kepala atau telapak tangan berkali-kali, adalah contoh yang paling mudah ditemukan dari “tubuh-naratif” ini di banyak pertunjukan. Tubuh-naratif itu tidak berbeda jauh dari tubuh-stereotip, terutama dalam memerankan tokoh ibu, ayah dan tokoh-tokoh lain yang sudah menjadi stereotip. Terjadilah perubahan karakter peran yang berusia pendek lewat tubuh dan kostum yang dikenakan aktor. Tubuh-naratif ini tak lain merupakan hasil konstruksi tak sadar dari politik budaya lisan yang berlangsung dalam pergaulan sehari-hari. Perangkap ini mungkin bisa dihindari apabila eksplorasi awal yang dilakukan oleh kelompok teater ketika memasuki sebuah proyek pertunjukan melakukan pembongkaran terhadap memori-memori stereotip yang menguasai tubuh mereka. (Naskah & Foto: Hanif Nashrullah---dikumpulkan untuk memenuhi tugas akhir semester (1) mata kuliah Olah Tubuh, Program S-1 jurusan Seni Teater, Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta Surabaya)

No comments:

Post a Comment